(Oleh : Yahya Muhaimin)
Pagi itu, aku menjelma serupa bebatuan. Kaku, tiada niat rasanya hendak beranjak meninggalkan kamar. Kalau bukan karena harus shalat shubuh, mungkin aku akan lebih betah berlama-lama meneggelamkan diri dalam mimpi yang masih indah. Hangat udara pagi dan cicit burung di pepohonan tidak kutemui pagi ini. Hanya hujan gerimis yang betah menetes di depan kamar. Beginilah pagi-pagi sepanjang bulan ini. Tak ada yang istimewa, selain sejuk udara sejuk yang berhembus menembus bilik kamar.
Sebuah kamar dengan ukuran empat kali empat meter adalah tempat aku berdiri pagi ini. Tidak terasa tiga tahun sudah aku menjadi bagian dari penghuni kamar ini, menjadi bagian dari sebuah ekosistem kehidupan pesantren. Sebentar lagi mungkin kalau tuhan mengizinkan kaki ini akan kulangkahkan jauh untuk kembali ke sebuah kampung yang terletak di hulu sungai kapuas. Sebuah kampung dengan budaya serta adat istiadat yang masih begitu kental. Disanalah aku terlahir, serta disana pulalah kuhabiskan masa kecilku bersama ayah, ibu, serta teman teman kecilku di rumah betang.
”Din...din.....!kamu tu masih betah aja berdiri di depan jendela. Udaranya kan dingin banget !” Suara pemuda flamboyan itu membuyarkan semua lamunanku. Irul, sahabat karibku ternyata telah berdiri dibelakangku. Tanpa aku sadari ternyata ia memperhatikan gerak gerikku.
“Emang sih lumayan dingin, tapi asik juga lo bisa nikmatin suasana kayak gini,” Sedikit argumen yang kurang jelas kulontarkan.
“Asik dari hongkong, bukannya lebih asik kalo tiduran aja,”
“Itu sih kamu, kerjaannya tidur doank. Bentar lagi kita kan harus mandi, entar kesiangan lo!,”
”Oh...Iya...ya!,” Irul menirukan gaya salah satu pemain sinetron yang sering ditontonnya di kantin sekolah. Memang selama tiga tahun ini ialah teman yang paling dekat denganku. Kalau ditimbang-timbang hubungan kami tidak kurang seperti kakak dan adik. Walaupun usia kami relatif sama, tapi sikap kekanak-kanakan masih sering kutemukan padanya. Namun satu yang kumiliki dan selalu ada padanya, sifat yang humoris adalah kelebihannya.
Seperti yang kukatakan sebelumnya, jika tuhan mengizinkan aku akan segera meninggalkan tempat ini. Bukan karena aku malas untuk bergelut dengan suasana religi di pondok pesantren ini , lelah dengan berbagai kegiatan yang sepertinya itu itu saja atapun tak berniat untuk menjadi seorang ustadz ataupun kiayi. Melainkan Ujian Nasional yang telah begitu dekat adalah akhir dari kisah perjalanan kami. Jika Tuhan meluluskan kami, secara otomatis masjid, kamar, sekolah, teman-teman, guru-guru serta nasi bakwan ala kantin sekolah adalah yang akan kurindukan. Walau berat aku harus menyelesaikan sekolahku tahun ini, aku harus kembali. Karena nun jauh disana, kampung halamanku adalah yang paling mebutuhkanku. Disanalah aku harus mengabdi, seperti pesan almarhum ayahku.
Hari ini, seorang anak lelaki tertua telah dari keluarga miskin harus kehilangan ayahnya, sejak hari ini juga ia harus mulai menanggung nafkah ibu, dua adik, serta kakek-neneknya yang telah begitu renta. Anak itu adalah aku, SafarUdin Rahmat. Seorang anak desa yang dengan usaha serta kerja keras ayahnya walaupun dengan nilai pas-pasan ala anak desa telah berhasil menyelesaikan pendidikan ditingkat kedua, SMP.
”Din, kamu harus sekolah. Masa depan kamu masih panjang, kamu mau kayak bapak? Cuma bisa jadi petani. Kerja panas-panasan di ladang, itupun hanya untuk sesuap nasi. Ayah mau setelah Udin tamat SMP nanti, Uding melanjutkan sekolah di Pondok Pesantren. Agar nanti dirumah betang ini ada seorang pemimpin agama.,” begitulah pesan ayah yang selalu kukenang. Tapi apa daya, mungkin mimpi akan hanya tetap menjadi mimpi. Sekarang aku bukan Udin yang dulu. Aku adalah kepala keluarga bagi seluruh anggota keluarga ini. Walaupun aku tinggal di rumah betang, sebuah rumah yang berpenghuni lebih dari enam puluh keluarga serta terkenal dengan kebersamaannya, aku tidak boleh hanya menggantungkan diri kepada belas kasih para tetangga.
Mungkin adalah sebuah keanehan jika muslim seperti aku adalah penghuni rumah betang. Memang pada awalnya nenek moyang penghuni rumah ini adalah suku-suku dayak yang berkepercayaan primitif. Tapi sejak kedatangan Pak Amir, seorang ustadz yang katanya adalah alumni sebuah Pondok Pesantren di Pulau Jawa, penghuni rumah betang ini menjelmakan dirinya menjadi sebuah komunitas islam. Tiga tahun lalu, pak Amir meninggal. Sejak saat itulah rumah betang ini seakan telah kehilangan salah satu tiang utamanya. Radank atau serambi memanjang dihadapan bilik-bilik yang setiap waktu subuh atau waktu shalat lainnya menjelma menjadi semacam mushalla kini hanya menjadi tempat pemuda serta pemudi mendendangkan lagu-lagu serta bercakap-cakap tentang pekerjaan yang melelahkan seharian. Merasakan degradasi nilai-nilai keberislaman inilah yang melatar belakangi mimpi besar ayah untuk menyekolahkanku ke Pesantren.
Empat jam sudah lengan ini mengayunkan parang, melibas deretan ilalang yang luas membentang. Beginilah kegiatanku setiap hari, setelah putus sekolah aku harus berkerja sebagaimana yang ayahku harus kerjakan semasa hidupnya. Membuka lahan baru untuk berladang dan bercocok tanam. Tidak seperti warga lainnya, aku lebih senang menebas ilalang ini dari pada meracun dan kemudian membakarnya. Selain karena keluarga kami memang tak mampu mebeli racun rumput yang mahal harganya, aku juga tak ingin menambah kabut asap yang setiap pagi menyerang kampungku dan tidak kalah dengan polusi asap kanlpot kendaraan di kota.
”Tolong,......too...long!,” suara kecil itu mengisi indera pendengaranku.
”Tolong....!,” suara itu terdengar menderita.
”Umak ada ninga urang mintak tulong ndak?,” Tanyaku pada ibu dengan bahasa lokal yang selalu kami pakai.”Apakah ibu dengar suara orang minta tolong?” begitulah mungkin kata-kata itu jika diterjemahkan.
”Nesek, mabak kula’ salah ninga,” Jangan-jangan kamu salah dengar, begitulah maksudnya.
Aku tak yakin jika pendengaranku salah, akalku seakan tak menerima. Hatiku bimbang, rasanya ingin aku segera berlari dan mencari asal suara yang kudengar tadi. Tapi itu tak mungkin, pekerjaanku belum selesai, selain itu ini belum waktunya pulang. Jika aku paksakan aku khawatir jika ibu akan menganggap aku hanya mencari alasan untuk meninggalkan pekerjaan dan lebih memilih bermain. Akhirnya kupendam jauh perasaan itu. Kembali seluruh jiwa serta raga ini kucurahkan untuk melibas habis rerumputan yang masih tersisa.
Matahari telah bertahta jauh di ufuk barat. Kilau keemasan yang mebias menjadi cahaya penunjuk jalan di keremangan jalan yang kulalui. Parang, cangkul serta berbagai asesoris tani lainnya masih bertengger di pundakku. Tiba-tiba tampak olehku sesosok tubuh yang dipenuhi lumpur serta kotoran manusia. Malang sekali nasibnya, mungkin pria inilah yang berteriak memohon pertolongan. Badannya yang tua sepertinya membuatnya tak mampu keluar dari lubang tempat penduduk kampung ini menunaikan kodratnya sebagai manusia. Pikiranku kacau, bingung tak tahu apa yang harus kulakukan. Mondar-mandir tubuh ini ditepian lobang itu. Saraf-saraf otak berkerja begitu keras. Tiba-tiba “Bukk” badanku terjerembab tersandung sebuah benda yang melintang dianatara semak-semak. Sebuah rotan, ternyata pada posisi inilah tuhan menjadi satu-satunya penolong. Kurangkai rotan itu menyerupai sebuah jerat, kuturunkan perlahan dan kusangkutkan diantara kedua ketiaknya. Susah payah kutarik tubuh itu keatas. Dari beratnya aku memperkirakan beratnya sekitar enam puluh kiloan. Akhirnya, setelah keringat bercucuran tubuh tersebut berhasil kuraih. Bau kotoran manusia yang mengotori baju seragamnya begitu menusuk hidung. Jika bukan karena sila kedua pancasila, yaitu kemanusiaan mungkin aku akan lebih senang meninggalkannya ditengah kegelapan seperti ini. Samar-samar aku dapat membaca nama dibaju dinasnya. ”Kurniawan Agung Fadlillah, S.I.P” begitulah kira-kira tulisannya.
Berat rasanya kaki ini hendak melangkah. Namun bagiku sebuah pekerjaan tidak boleh setengah-setengah. Akhirnya,dengan susah payah aku berhasil memopong bapak itu.
”O...din! sopa yang kulak baek?,” Ai Tangkong menayakan siapa orang yang ku bawa., salah seorang tetanggaku yang usianya telah berkepala tujuh. Walaupun demikian, kekuatannya otot-otot rentanya masih lebih kuat dari pada anak muda di kampungku yang menghabiskan malamnya dengan bergadang di Radank.
”Entah meh, aku pun ndak kenal,” aku juga tak kenal, begitulah maksudku.
”Kituk meh, Ai tulong,” Ai Tangkong meraih tubuh kotor itu dari pundakku. Dengan tangan perkasanya ia memanggul tubuh tersebut melangkah menaiki anak tangga yang terbuat dari sebatang kayu bulat yang dilengkapi anak tanngga, satu-satunyta akses masuk ke dalam rumah betang setinggi enam meter itu.
Akhirnya perjuanganku selesai sudah. Setelah dibersihkan, tubuh yang telah menyerupai mayat itu kami baringkan di tepian radank. Ibu segera memanggil dukun kampung yang kebetulan adalah salah seorang penghuni lawang atau bilik di rumah ini. dengan cekatan dukun tersebut membersihkan luka senjata tajam yang ternyata menggores di hampir sebagian tubuhnya dengan sejenis tumbuh-tumbuhan yang entah aku sendiri tak tahu namanya.
Tiga hari lamanya, tubuh itu hanya tergeletak di radank. Setiap pagi dan sore sang dukun selalu datang untuk memeriksa keadaan pasiennya. Untuk urusan menjaga, adik-adikku bisa diandalkan. Secara bergilir tiga adikku menjaga lelaki itu siang dan malam. Walau tiada mempunyai hubungan keluarga, kepudulian kami menjadi motivasi kami untuk tetap menjaganya. Selain itu, kami juga yakin bahwa Allah akan senang dengan apa yang sedang kami lakukan.
”Bang, bapak itu sudah bangun,” pekik adikku yang paling bungsu. Kebetulan pagi itu ialah yang bertugas menjaga tubuh kaku itu. Aku segera berlari, menjejaki anak-anak tangga yang lapuk karena begitu tua. Perlahan kudekati adik-adikku yang telah berkumpul berkeliling disekitar tikar tempat tubuh bapak itu kami baringkan.
”Siapa kalian ?,”itulah kata-kata yang pertama kali terlontar dari mulut pria separuh baya itu. Suaranya masih serak, tapi aura kebijaksannannya sudah dapat kurasakan.
”Dimana aku sekarang?,” mulut itu kembali melontarkan sebuah pertanyaan.
”Tenang saja pak! Kami orang baik, kamilah yang menyelamatkan bapak. Sudah tiga hari bapak pingsan.,”
”Kalau begitu, saya sangat berterima kasih dengan bantuan yang telah kalian berikan,” Pria tua itu susah payah berusaha untuk bangkit. Tampaknya tubuh itu masih begitu lemah.
”Bapak istirahat dulu, bapak kan belum sehat,”
”Iya ni, bapak jangan banyak berrgerak dulu,” Adik bungsuku menimpali, gayanga seperti dokter spesialis yang sedang memberi saran pada pasiennya.
Empat hari telah berlalu sejak pria itu sadar dari pingsannya, tahapan demi tahapan penyembuhan dilalui oleh pria yang kami kenal sebagai pak Agung. Ternyata ia adalah camat kami. Disinilah tanda-tanada bahwa kami sungguh terisolir. Bahkan camat kami sendiri kami tidak mengenalnya.
Menurut cerita beliau, peristiwa yang ia alami seminggu lalu adalah akibat dari keputusannya melarang utusan perusahaan kayu dari ibukota yang meminta izin melakukan penebangan hutan di daerahnya, termasuk kampungku. Pihak yang merasa di rugikan sempat hendak menyuapnya dengan sekoper uang yang katanya bernilai satu miliyar rupiah. Namun, beliau yang ternyata alumni sebuah pesantren di ibu kota provinsi kami lebih memilih untuk tidak menjadi oang munafik yakni dengan mempertahankan keputusannya. Ternyata tanpa ia ketahui, panas hati telah membara di dada para utusan yang katanya adalah lulusan terbaik Universitas-universitas besar di pulau jawa. Dalam perjalan pulang, ditengah kegelapan malam Pak Agung disergap oleh eberapa pemuda yang tidak dikenalnya. Tubuh tua Pak Agung tak kuasa melawan. Beberapa goresan senjata tajan mendarat disekujur tubuhnya. Ia yang telah jatuh pingsan dibuang jauh di tengah hutan. Disekitar kampung yang penghuninya adalah kami. Tepatnya disebuah lobang pembuangan akhirsegala jenis makan yang kami konsumsi sehari-hari.
Malam itu, angin bertiup begitu kencang. Hujan deras mengguyur perkampungan terpencil ini. Lampu minyak yang kami gunakan sebagai alat penerangan tidak satupun yang masih memancarkan cahaya, angin yang menyusup diantara celah-celah bilik papanlah yang telah memadamkannya.
Tiba- tiba sebuah hentakan membuat rumah serasa dihantam gempa. Bunyi-bunyi aneh menggema sepanjang radank. Suara rintihan mejadikan malam itu serasa begitu mencekam. ”Pak Agung!,” aku teringat pak Agung yang tidur sendiri di Radank. aku berlari, membuka pintu dan segera mengarahkan mata ke tempat Pak Agung tidur. Menyadari Pak Agung tidak ada di tempatnya segera aku langkahkan kakiku ke pojok radank. tempat sebuah gong pertanda ada bahaya diletakkan. Kupukul gong itu sekeras-kerasnya membangunkan seisi rumah btenag. Tanpa aba-aba, semua penghuni mengikuti langkahku. Menuruni anak tangga yang begitu licin terkena basah dari tetesan air hujan. Ai Tangkong dengan tuuh rentanay lebih memilih melomcat dari atas rumah daripada berebutan menuruni tangga. Dari jauh aku melihat sekelompok bayangan berlarian diantara rerimbunan pepohonan. Segera kami mengejar gerombolan itu. Tanmpak oleh kami mereka melempar sebuah karung besar yang entah apa isinya. Sampai di tempat karung itu dibuang kami berhenti. Ai Tangkong memberanikan diri membuka ikatan karung tersebut.
”Astagfirullah, Pak Agung! Apa yang terjadi,” aku memekik. Ternyata pak Agunglah yang dari tadi menggeliat didalam karung tersebut. Mungkin orang yang berusaha menculik Pak Agung lebih memilih meninggalkan Pak Bagung dari pada harus melarikan diri dengan membawa beban seberat Pak Agung. Tentu ia takut harus meregang nyawa ditangan para petani desa seperti kami.
”Din, tolong antarkan bapak ke Kantor Polisi,”
”Tapi pak, apakah tidak bisa besok saja,”
”Tidak bisa, istri dan anak bapak dalam bahaya, jika bapak tidak segera bertindak maka anak dan istri bapak akan mengalami hal yang sama dengan bapak,”. Tampaknya preman kampung bayaran para utusan perusahaan kayu tersebut mengambil cara lain yang lebih mudah. Menyerang Pak Agung dari titik kelemahannya, mereka tahu seorang yang pengasih seperti pak Agung tidak akan membiarkan keluarganya menderita. Tentu Pak Agung nantinya akan mengabulkan permohonan mereka. Dan yang tentu terjadi, komisi dari bos-bosanya di Jakarta akan mengalir ke dalam kantong dan ATM mereka.
Malam itu juga aku, Pak Agung, serta Ai Tangkong berangkat ke ibukota kecamatan. Melewati jalan pintas dibelakang kampung. Mengayuh perahu menuju hilir Sungai Boyan, sebuah cabang dari sungai Kapuas. Aku bertugas mengayuh, sedangkan Ai Tangkong telah siap dengan mandaunya memasang kuda-kuda kalau ada sesuatu yang tiba-tiba menjadi pengahalang perjalanan kami.
Kira-kira pukul tiga pagi kami merapat di Ibukota kecamatan. Beruntung Kantor Polisi berada disekitar tempat kami merapat sehingga kami tidak perlu bersusah payah berjalan kaki untuk segera memberi laporan serta meminta pertolongan.
Pagi itu, matahari bersinar begitu cerah. Sisa hujan tadi malam masih menyisakan becek di jalan kampung yang kami lalui. Letih mengayiuh tadi malam mebuat aku lebih memutuskan untuk berlibur dari bertani.
“Udin...Udin,” Ai Tangkong memanggilku dari kolong rumah. Dengan malas aku beranjak, menuruni anak tangga untuk yang beribu-ribu kalinya. Kulihat sebuah jeep berplat merah terparkir didepan rumah betang kami. Seorang bapak dengan seragam dinasnya menulurkan kepalanya sambil melambaikan tangan dari jendela mobil tersebut. Pak Agung, camat kami yang kami hantarkan ke kantor polisi tadi malam. Tampak ia beserta istrinya keluar melangkah menuju kearahku.
”Terima kasih nak, berkat bantuan nak Udin bapak tidak terlambat melapor. Usaha penculikan istri dan anak bapak berhasil digagalkan,” senyum mekar dibibir Pak Agung.
”Alhamdulillah ! saya juga ikut senang pak, semoga kejadian seperti ini tidak terulang lagi,”. Tiba-tiba pandanganku dialihkan oleh sesosok manusia indah dengan senyum yang merekah dibibrnya, melangkah keluar dari dalam mobil yang sama. Ia adalah seorang wanita dengan struktur wajah lonjong dan air muka yang sangat menawan. Hidungnya kecil dan bangir, garis wajahnya tirus dengan tatapan mata kharismatik menyejukkan sekaligus menguatkan hati. Bahkan pada detik itu pula hati ini telah terpaut pada nya.
”Siapa itu?,” tanyaku singkat.
”Ia Mala! Nirmala Asiyah, anakku!, kenapa? Kamu suka ya,”. Aku tersipu.
”Nanti kalau sudah besar, ia boleh jadi istrimu,”. Entah hanya bercanada ataupun serius, yang pasti saat itu hatiku berdesir. Begitu cepatkah tuhan mengirim jodoh padaku.
”Tapi ada satu syarat...,” pak agung tak melanjutkan kata-katanya.
”Syarat apa,” itulah kata yang kusembunyikan di bilik hatiku.
”Kamu harus Nyantri terlebih dahulu di Pondok Pesantren tempat bapak pernah nyantri dahulu. Kamu mau kan?,”
”Maksud bapak..?,” aku seakan tidak percaya. Syarat itu adalah mimpiku selama ini.
”Bapak tahu kamu sangan ingin menimba ilmu di Pesantern. Adik bungsumu sering bercerita kepada bapak tentang kamu. Jadi, sebagai ungkapan terima kasih bapak, bapak akan membiayai kebutuhanmu disana,”. Bibirku kelu, tak mampu berucap sepatah kata. Akhirnya mimpiku dan alamrhum ayah terkabul. Air mataku meleleh di pipi. Kupeluk tubuh tua itu, berkali-kali ku cium tangannya sebagai ungkapan bahagia tiada kira.
”Tapi pak..,” tiab-tiba adar rasa yang serasa menjanggal di hatiku.
”Apa lagi?, kamu sudah tak berniat lagi untuk nyantri?,”
”Bukan, tapi bagaimana dengan keluarga ini. Mereka akan makan apa?. Adik-adikku masih begitu kecil untuk berkerja,”
”Kalau masalah itu kamu tenang saja, Bapak sudah memutuskan memberikan seperlima dari gaji bapak setiap bulannya untuk keluarga Udin,”. Tangisku semakin deras. Tak sanggup aku menggambarkan perasaanku saat ini. Ternyata Tuhan begitu pemurah. Tanpa aku sadari ia telah mengirim malaikatnya kepadaku lewat bau yang menusuk hidung saat aku menemukan Pak Agung tempo lalu.
Hari ini adalah hari pengumuman kelulusan. Hujan diluar masih deres menetes membasahi rerumputan. Aku, irul serta teman-teman yang lain saat ini dalam kebisuan. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi dengan kami hari ini. Hasil dari waktu tiga tahun yang kami habiskan akan ditentukan hari ini. Jantung berdetak kencang sekaan berkejaran dengan irama tetesan hujan. Anganku kembali kesana, tempat ibu, adik, Pak Agung serta Mala tentunya yang kuyakin berharap cemas menantikanku pulang ke kampung halaman.
”SafarUdin Rahmat!,”. Sebuah panggilan terakhir, dan itu adalah namaku. Kakiku bergetar, bumi seakan berguncang begitu dasyat. Tanganku bergetar kala sebuah amplop kupegang erat ditanganku. Dengan langkah beratku aku beranjak kembali ke bangku tempat irul yang telah menantiku.
”Hari ini, setelah tiga tahun kalian berjuang nasib kalian akan ditentukan. Dan jikalau nanti ternyata harus ada di antara kalian yang tidak lulus, maka berbesar hatilah. Allah pasti punya rahasia dibalik itu semua. Setiap manusia punya jalan, hanya saja kita tak tahu ke arah mana tuhan akan menunjukkannya. Tugas kita hanya berusaha,” begitulah kalimat terakhir yang diucapkan Kepala sekolah kami sebelum kami membuka amplop yang telah kami terima.
”Sekarang silahkan buka!,” begitulah instruksi yang kami terima. Dipojok kelas nampak Arif, sang juara kelas telah tersenyum pertanda bahwa kelulusan telah digenggamnya. Jari jariku kembali bergeletar saat harus membuka amplop yang isinya adalah hasil usahaku tiga tahun ini. Hatku berdesir, tanpa aku sadari airmata telah mengalir di kedua pipiku. Sebuah tangis bahagia telah kutumpahkan. Berkat rahmat Allah hari ini aku telah menyelesaikan pendidikan tingkat ke tiga, Madrasah Aliyah. Di kertas yang kupegang, aku dapat melihat Ayah tersenyum bangga padaku.
”Kamu telah mengabulkan mimpi ayah nak, ayah bangga padaku,” kata itulah yang mungkin hendak diucapkan jikalau ayah masih ada.
Kupandangi sekitar, tampak irul berlari meninggalkan aku. Tangisnya bersimbah. Kubuka kembali amplopnya yang tergeletak disisiku. Aku kembali menangis, bukan tangis bahagia. Melainkan sebuah kesedihan yang amat sangat. Tuhan punya jalan lain untuk Irul, itulah yang kubaca dari kertas tersebut. Ia dinyatakan tidak lulus di Ujian Nasional tahun ini.
Sebuah Bus melaju melintas rimbun pepohonan pinggiran jalan. Meninggalkan aku di depan sebuah rumah yang termegah di Kecamatan tempat aku menginjakkan kaki hari ini. Rumah Pak Agung, seorang camat yang masih betah mengabdi di daerah terpencil seperti ini. Seorang juru penyelemat yang dikirim tuhan untukku tiga tahun lalu.
”Assalamu’alaikum,”
”Wa’alaikum salam,” seorang wanita dengan senyum yang sama dengan tiga tahun lalu mebukakan pintu untukku. Kalau bukan larangan agama, mungkin telah kubenamkan tubuh ini dalam pelukannya. Betapa aku rindu padanya. Percaya atau tidak, ini adalah kali kedua aku melihat wajahnya. Betapa ajaib tenaga cinta pertama. Senyumnya masih semerbak di relung-relung dadaku seperti pertama kali tuhan mempertemukan aku dengannya.
“Eh nak Udin, sudah lama?,” sapa Pak Agung yang sengaja pulang awal karena tahu kedatanganku.
“Belum, baru saja,” jawabku singkat. Aku teringat sesuatu yang masih sangat berharga untukku. Ibu, adik serta kakek nenek yang ada dirumah betang. Disebuah kampung pinggiran kecamatan.
“Kenapa? ada yang dipikirkan?,”
“Aku harus segera pulang, aku telah begitu rindu pada ibu,”
”Din ! Bapak ingin mengucapkan maaf sebelumnya. Bukannya bapak tidak ingin mengabari Udin, hanya saja bapak tidak ingin menggangu belajar Udin menjelang Ujian. Sekarang ibu kamu sudah tidak ada dirumah itu,”. Air muka Pak Agung tiba-tiba berubah.
”Memangnya kenapa? Ibu kemana?,” pertanya itulah yang serta merta mengalir dari lisanku.
”Dua bulan yang lalu seluruh anggota keluargamu telah meninggalkan dunia fana. Karena derasnya arus sungai, perahu yang mereka naiki tenggelam. Setelah tiga hari, barulah jasad merek ditemukan,”. Aku menangis, tak tahu lagi kemana lagi derita ini akan kubagi. Begitu berat ujian tuhan. Setelah memanggil ayah ternyata tuhan belum puas menyiksaku. Sekarang aku sebatang kara. Tak tahu lagi entah kemana.
”Din, kamu jangan menangis. Kasihan mereka, sekarang ini yang mereka butuhkan bukan air mata. Kirimi mereka do’a. Kamukan sudah nyantri, kabulkan segala mimpi mereka. Lagipula, tangsi bukan penyelesaian masalah,”
”Bang, kuatkan hati abang. Mala tahu berapa menderitanya abang. Tapi abang musti ingat, sekarang masih ada bapak, ibu, mala serta seluruh penghuni rumah betang tempat anag dilahirkan yang mebutuhkan dan menyayangi aabang. Hidup masih panjang. Yang perlu abang lakukan sekarang adalah kembali ke niat yang semula. Kembali ke rumah betang , jadilah pemimpin agama disana. Mala berjanji akan selalu bersama abang,”. Aku terdiam. Hanya isakanlah yang masih tersisa. Aku tak menyangka kata-kata itu akan keluar dari mulutnya. Mengalir begitu saja, bukan sebuah rekayasa yang telah disusun begitu saja. Aku tak menyangka, dibalik deriat ini tuhan kembali mengirimkan bidadarinya untukku. Aku sadar, ternyata aku tidak sendiri. Disini, didunia ini masih banyak orang yang membutuhkanku. Dan aku juga yakin bahwa disana, diakhirat sana ayah ibu, adik-adiku serta kakek dan nenek sedang tersenyum atas ketegaranku hari ini.
Setelah dera derita yang aku alami selama ini, akhirnya tuhan telah mengantarkanku ke penghujung jalan. Kini aku tidak sendiri. Disini, di rumah betang ini aku hiudp bahagia Bersama Mala dan kedua anakku Nabil Fanshurullah dan Nurlalila eka fathanah. Di sini pula aku menjadi pemimpin bagi enam enam puluh keluargha yang bermukim di tempat yang sama. Di kala tiba waktu shalat, maka radank adalah ruang yang disesaki berpuluh puluh jama’aha. Aku bahagia, akhirnya aku telah berhasil melaksanakan amanat ayah tercinta. Tidak lupa dalam setiap shalat aku kirimkan do’a untuknya. Aku mohon agar tuhan sudi kiranya meringankan bebannya diakhirat sana beserta seluruh keluarga yang aku cinta.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari aku menjadi tenaga honorer di kantor kecamatan. Berangkat setelah subuh dan pulang menjelang magharib, itulah gambaran aktivitasku saat ini. Baru baru ini aku juga mendengar kabar tentang irul. Ternyata setelah kegagalannya ia memutuskan menjadi pengusaha meubel. Dengan kerja kerasnya kini ia bahkan telah memiliki enam minimarket yang dikelola oleh istrinya. Disinilah aku belajar, bahwadi balik kesusahan pasti ada kebahagian. Siapa sangka, aku yang bersedih ditinggal ayah tercinta kini telah berhasil menjadi seorang ustadz yang menjadi cahaya bagi kampungnya. Dan juga irul, ternyata di air mata yang dulu ia teteskan tuhan telah mennyembunyikan rencana besar untuknya. Sekali lagi,, tuhan telah menunjukan jalan. J
Yth Sdrku Yahya Muhaimin, sy baca cerpen "Tuhan telah menunjukkan Jalan" beagus sekali , tapi kok ada nama seorang anak bernama Nabil Fanshurullah.
Sy tanya kira2 inspirasi atau ide dari mana sehingga ada nama Fanshurullah,tks
hormat sy
M.Fanshurullah Asa
email : ifan_asa01@yahoo.com