MENUNTUT PERTANGGUNG JAWABAN (yahya muhamin)

Kamis, 22 Oktober 2009
Dalam sejarah ulama salaf dikisahkan suatau ketika Nabi memberi jabatan kepada seorang sahabatnya bernama Miqdad bin Aswad. Beberapa hari berikutnya, Rasulullah bertanya kepadanya : “Wahai Miqdad, bagaimana pendapatmu sendiri dan orang banyak tentang amanah yang aku berikan kepadamu ?” maka Miqdad menjawab: “Sesungguhnya saya merasakan bahwa amanah itu adalah musibah berat bagi saya, sedangkan orang banyak berkomentar bahwa saya menurut mereka sedang mendapat anugerah”.
Dari sini, rasulullah memberi sebuah nasehat. Dan Al-Miqdad pun segera memanggil sahabat lainnya untuk mendengar pesan beliau yang berbunyi : “Kalau kalian berkehendak, saya akan memberitahukan kepada kalian tentang jabatan. Apa itu ? Pertama, ia sebagai celaan. Kedua, ia sebagai penyesalan. Dan yang ketiga, ia sebagai azab di hari kiamat. Tapi semua itu akan terhindar, apabila pemegang amanah jabatan tersebut berlaku adil”.(H.R. Imam at-Tabrani dari Auf bin Malik).
Belajar dari kisah sahabat tadi, selayaknyalah kita sadari bahwa menjadi seorang pemimpin itu bukanlah hal yang mudah. Menjadi seorang pemimpin berarti memikul sebuah amanah berat yang suatu saat dituntut pertanggung jawabnya. Seorang pemimpin bertanggung jawab terhadap semua yang dipimpinnya. Makin tingggi jabatan serta makin besar ruang lingkup yang ia pimpin, makin besar pula tanggung jawab yang harus ia pikul.
Mengenai Tanggung jawab dikisahkan sebuah riwayat bahwa suatu ketika Abu Muslim Al-Khaulani yang merupakan salah satu ulama tabi’in, memasuki istana Muawiyah bin Abu Sufyan dengan mengatakan : “ Semoga keselamatan atas anda wahai penyewa!” Para pengawal Muawiyah serentak membentak : “Katakanlah!,wahai sang pemimpin” Abu Muslim pun mengulani salamnya : “Semoga keselamatan atas anda wahai penyewa!” Pengawal itupun kembali mengatakan : “Katakanlah !,wahai sang pemimpin” Maka saat itulah Muawiyah bangkit dan berkata : “Biarkanlah Abu Muslim berkata sehendaknya, karena sesungguhnya ia lebih tahu atas ucapannya”.
Setelah itu Abu Muslim berkata : “Sesungguhnya anda wahai Muawiyah, adalah penyewa yang mana Allah telah menyewakan kambing-kambingnya kepadamu untuk digembalakan. Maka jika anda oleskan Qatirah (Obat kudis bagi binatang) pada tempat sakitnya, anda obati yang sakit, anda kendalikan dari yang pertama sampai yang terakhir dari domba-domba itu, niscaya sang pemilik domba akan memenuhi upahnya kepada anda. Namun, jika anda lengah mengoleskan obat pada penyakit kudisnya, tidak mengobati domba yang sakit dan tidak mengurus maupun menjaganya tentulah sang pemilik domba akan menghukum anda”.
Dalam riwayat lain diceritakan bahwa Umar bin Khattab.ra pernah mengungkapkan besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di akhirat nanti. Beliau berkata : “Seandainya seekor keledai terperosok di kota Baghdad niscaya Umar akan dimintai pertanggung jawabannya, seraya akan ditanya mengapa tidak kau ratakan jalan itu untuknya ?” . Itulah keteladanan yang dilukiskan para salafus salihin tentang beratnya tanggung jawab pemimpin di hadapan Allah SWT.
Pada dasarnya, dalam Islam sebuah pertanggung jawaban berpijak atas dasar perbuatan Individu semata. “Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatan kembali kepada dirinya dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”(QS al An’am:164)
Perbuatan individu merupakan gerakan yang dilakukan seseorang pada waktu, tempat, dan kondisi-kondisi tertentu yang mungkin berpengaruh kepada orang lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa kepemimpinan seorang pemimpin juga termasuk perbuatan Individu. Jadi seorang pemimpin bukan berarti memikul dosa yang dipimpinnya, melainkan ia harus memikul beban tanngung jawab terhadap kepemimpinannya.
Seorang pemimpin yang cerdas selayaknya tidak meremehkan sekecil apapun perbuatan dosa yang ia lakukan dalam kepemimpinannya. Mengapa demikian? Karena mungkin saja sesuatu perbuatan yang jelek itu berawal daripada sesuatu yang kecil. Bila pengaruhnya serta akibatnya terus berlangsung lama maka mungkin saja dosanya akan berlipat ganda.
Allah SWT berfirman : “Kami menuliskan apa-apa yang mereka perbuat dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan”(QS.Yasin: 12). Ayat ini mengaskan bahwa seseorang tidak hanya dimintai pertanggung jawaban akan perbuatannya melainkan juga akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya itu. Jadi seseorang yang berbuat baik dan jahat akan mendapat pahala serta menanggung dosa, ditambah pahala atau dosa orang yang menirunya. Oleh karenanya sebagai seorang pemimpin yang bertanggng jawab akan budi pekerti yang dipimpinnya maka hendaklah seorang pemimpin mampu menjadi suri tauladan yang baik bagi yang dipimpinnya.
Marilah kita merenung sejenak seraya bertanya, apabila seorang pemimpin yang berkuasa penuh memerintahkan kita untuk melakukan suatu perbuatan dosa. Apakah pemimpin itu yang akan menannggung dosa rakyat yang ia paksa, ataukah rakyat juga harus menanggung dosanya walaupun melakukan perbuatan tersebut di bawah sebuah tekanan?
Seorang pemimpin tidak dikatakan memaksa selama dalam diri rakyat masih ada kehendak. Perintah seorang pemimpin baik berupa lisan maupun tulisan kepada bawahnnya tidak berarti menggugurkan tanggung jawab bawahannya terhadap apa yang telah ia perbuat. Bahkan Kitabullah Al Qur’an sangat mencela oarang yang berbuat dosa dengan alasan perintah dari pemimpinnya. Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: “Alangkah baiknya, andaikata Kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul. dan mereka berkata;:"Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar Kami, lalu mereka menyesatkan Kami dari jalan (yang benar)” (QS. Al Ahzab : 66-67).
Allah membantah dengan tegas,: (Harapanmu itu) sekali-kali tidak akan memberi manfaat kepadamu di hari itu karena kamu telah Menganiaya (dirimu sendiri). Sesungguhnya kamu bersekutu dalam azab itu.(QS. Az-Zukhuf : 39).
Sezalim-zalimnya seorang pemimpin, ia hanya mampu memaksa lahiriahnya saja. Ia tak akan pernah mampu untuk menguasai batinnnya. Untuk itu, yang dipimpin juga mempunya tanggung jawab terhadap akidahnya meski disana ada sebuah perintah atau larangan dari seorang pemimpin.
Bebeda dengan hukum paksaan yang menimpa orang-orang lemah yang ditindas penguasa yang mengancam akan membunuhnya dam memang bisa dilaksanakan. Ini pernah terjadi pada awal perkembanagan islam di mekkah dimana orang yang masuk Islam dipaksa murtad seperti Bilal bin Rabbah, keluarga Yasir , dan lainnya. Mereka dipaksa menyatakan kekufurannya.(QS. An-Nahl:106 dan an-Nisa : 97-99).
Tanggung jawab seseorang berkait erat dengan kewajiban yang diembannya. Makin tinggi kedudukannya di masyarakat, makin tinggi pula tanggung jawabnya. Seorang pemimpin negara bertanggung jawab atas prilaku diri, keluarga, masyarakat, serta rakyat yang dipimpinnya. Rasulullah bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya”.
Tanggung jawab tersebut bertingkat-tingkat sesuai dengan levelnya. Kepala keluarga, kepala desa, camat, bupati, gubernur, atau bahkan presiden akan dimintai pertanggung jawabannya sesuai dengan ruang lingkup kepemimpinannya. Seorang mukmin yang cerdas tidak akan mudah menerima amanat kepemimpinan kecuali dengan penuh kehati-hatian dan senantiasa berusaha memperbaiki diri, keluarga serta rakyat yang dipimpinnya. Bahkan Rasulullah tidak mengizinkan seseorang yang berusaha mencari jabatan sebagaiamana yang tertuang dalm haditsnya: “Barang siapa yang meminta meminta menjadi hakim dan berusaha untuk itu, maka ia akan terbebani olehnya. Dan barang siapa yang tidak meminta untuk menjadi hakim, dan tidak berusaha memintanya, (kemudian ia ditunjuk untuk menduduki posisi itu), maka Alah menurunkan malaikat untuk menunjukkannya” (HR. Turmudzi,Ahamd Abu Daud).
Oleh karenanya tidak sedikit para Salafus Salihin menolak jabatan yang diberikan sekiranya ia merasa khawatir tidak mampu melaksnakan tugasnya dengan baik. Bila tidak berhati-hati seorang pemimpin akan memikul banyak dosa. Setiap orang yang ia zalimi akan memikulkan dosa kepadnya.
Pemimpin dalam level apapun akan dimintai pertanggung jawabanya di hadapan Allah atas semua perbuatannya, disamping semua apa yang terjadi pada rakyat yang ia pipmpin. Baik buruk prilaku dan keadaan rakyat tergantung pemimpinnya. Namun walaupun demikian, kita selaku rakyat tidak bisa merasa tenang. Karena sesungguhnya kita selaku rakyat juga akan diminta pertanggung jawaban ketika memilih seorang pemimpin. Maka celakalah kita yang memilih pemimpin tidak berdasarkan kriteria pemipin ideal yang telah ditentukan oleh agama serta tidak memiliki kapabilitas serta aksepbilitas sehingga kelak pemimpin itu akan membawa rakyatnya ke jurang kedurhakaan atau bahkan kekafiran, akhirnya rakyat juga terbebani dan bertanggung jawab akan dosanya.

0 komentar:

Posting Komentar