FHOTO GUE

Sabtu, 19 Desember 2009

FHOTO GUE NIE....

JANJI

Mari teman buat janji bukan buat candi
Tidak sulit teman, tidak sulit kawan
Tak perlu kau menyusun batu
Cukup kau menyusun kata
Berikan kelingkingmu
Biar kuberi kau kelingkingku
Tak penting adakah yang lain tahu
Adakah yang lain mau
Yang terpenting mari buat janji teman bukan buat candi
Kita kawan, kita teman
Berjanji untuk terus mengabdi pada bumi pertiwi

20 November 2009 / 20:24

KEPERGIAN

Sabtu, 28 November 2009
Oleh : Yahya Muhaimin

Pagi itu sang rembulan belum beranjak pergi. Namun sang mentari pagi telah tak sabar menanti. Memeluk dunia dengan hangatnya serta menghias lelangitan dunia dengan hias binar cahyanya. Cicit burung- burung kecil di pepucukan cemara menambah semarak pagi gembira. Begitu damai kurasa pagi itu, apa lagi hari ini aku akan bertemu dengan orang yang kucintai. Namanya Siscka, dia temanku di SMP dulu. Walau telah berpisah tapi kami tetap melakukan hubungan lewat handphone. Tak terasa tiga tahun sudah aku tak bertemu dengannya. Entah bagaimana rupanya aku tak sanggup lagi menggambarkannya. Sedikitpun tak ada gambaran dalam ingatanku akan rupa dirinya. Yang aku ingat hanya lesung pipit yang menghias kedua pipinya saat ia menebar senyum manis nan mempesona saat terakhir aku bertemu dengan dirinya.
“Min, kamu mau kemana, kok tumben tumbenan pagi-pagi begini udah rapi,” Mamaku heran melihat penampilanku pagi ini.
“Enggak kemana-mana kok ma, Cuma keluar sebentar,”
“Kok rapi amat sich, biasanya juga gak gini,”
“Kan boleh ma, sekali sekali rapi. Masak mo kumal mulu, kan gak enak dilihat orang,”
“Iya sich,Tapikan gak biasanya kamu serapi ini,”
“Emang salah, kalo aku berpenampilan berbeda seklai-sekali,”
“Ya enggak sich, dah deh kalo kayak gitu, mama malas berdebat ama kamu mending mama masak buat sarapan kamu,”
Pagi itu hawa terasa begitu dingin. Sweater yang kupakai tak mampu menahan hembusan angin yang terasa menusuk tulang. Awan tidak begitu tebal tapi entah mengapa pagi itu langit terlihat begitu gelap. Namun semua itu tak menghalangi langkahku tuk seger menemuinya. Lagian kalau tidak sekarang kapan lagi aku dapat menemuinya. Sebentar lagi ia akan melanjutkan studinya ke Amerika. Wlau berta kali ini aku harus kembali rela melepas kepergiannya. Lagi pula kepergiannya adalah untuk tujuan yang mulia, jadi aku tak boleh terlalu egois. Bukankah itu semua demi kebaikan dirinya. Jika aku ingin menjadi kekasih yang baik aku harus selalu memberi support kepadanya.
Tak terasa aku telah berdiri didepan rumahnya. Tiga tahun sudah aku tak mendatangi rumah ini. tidak banyak yang berubah. Semuanya hampir sama seperti yang dulu. Mungkin hanya ada sedikit renovasi di beberapa bagian. Namun semua perubahan itu tetap membuat rumah ini terlihat begitu megah.
“Tettt…tettt….tettt…..,” Kutekan bel rumah itu.
“Cari siapa nak?,” Terlihat seorang ibu-ibu membuka pintu yang tak lain adalah tante Titi ibunda Siscka.
“Sisckanya ada tante?,”
“Oh….Sisckanya lagi tidur, maaf adik ini siapa ya?,”
“Saya Nabil tante, masak sih lupa ama saya,”
“O Nabil,abis kamu sih udah lama gak ke sini. Tante jadi lupa dech!!!.Emang ada hal penting yach yang mo di omongin ama Siscka?,”
“Enggak kok tante, Nabil Cuma kangen aja udah lama gak ketemu dia,”
“O gitu, mending kamu bangunin aja sana!,”
“Gak enak ah tante, masak orang gi enak tidur dibangunin,”
“Enggak papa kok, lagian kalo enggak dibangunin biar nunggu ampe jam sembilan Siscka juga gak bakalan bangun. Itung itung bikin kejutan lach,”
“Iya deh tante,” aku beranjak meninggalkan ibunda Siscka. Walau sempat ragu namun kupastikan langkah kakiku menuju kamar Siscka. Perlahan kubuka pintu kamar itu. kurasa ada hawa lain didalam kamar itu. kulihat ia masih asyik bermimpi dalam tidurnya. Rasanya kau tak sampai hati membangunkannya. Aku hanya dapat memandang wajahnya, tak ada yang berubah, rasanya baru beberapa hari saja aku tak menemuinya. Tak kuasa aku tuk membangunkannya. Aku tak ingin mengusik tidurnya’ lagi pula ia masih kelihatan letih setelah melakukan perjalanan panjang dari Jakarta. Perlahan kutinggalkan Siscka. Sesekali kutolehkan wajahku kearahnya.
“Sayang mau kemana,”. Suara itu menegjutkanku. Ternyata Siscka telah bangun dari tidurnya. Sambil mengucek ngucek matanya yang masih kantuk perlahan ia mendekati aku.
“Aku gak kemana-mana kok, Aku Cuma gak mo ngeganggu tidur kamu,”
“Enggak gannggu kok, Siscka kan dah bangun dari tadi. Tadi pas Siscka bangun Siscka lihat Sayang mo masuk kamar Siscka makanya Siscka pura-pura tidur lagi,”
“Oh gitu, ya udah dech Siscka yang manis cuci muka dulu yach! Entar baru kita ngobrol ngobrol,”
“Iya Dech ,”Siscka beranjak meninggalkanku masuk kedalam kamar mandi. Aku hanya dapat mendengar percikan air perlahan kudengar lantunan sebuah lagu yang keluar dari mulut Siscka. lagu yang berjudul Tinggal Kenangan itu terasa begitu menyentu hatiku. Bila kuingat ia akan kepergiannya, aku merasa ingin menangis. Namun sekali lagi aku mecoba tegar, karena aku sadar bahwa setiap ada kepergian pasti akan ada kepulangan. Dan aku yakin suatu hari nanti jiak ia memang tercipta untukku ia pasti akan kembali bersamaku. Diluar hujan turun begitu deras. Rintik rintik hujan itu bagaikan mewakili perasaan hatiku saat ini yang sedih ini.
“Sayang kok cemberut sich, lagi sakit ya?,”
“Engga’ kok in, Nabil Cuma sedih kalo inget Siscka bakal ninggalin Nabil lagi,”
“Kok sedih sih, Siscka kan pergi buat belajar. Lagian Siscka bakal tetap berkomunikasi kok ama Nabil. Jauh kan bukan halangan buat mencinta,”
“Siscka benar, Nabil begini bukan karena gak senang ama kepergia Siscka, Nabil tu dukung banget keputusan Siscka buat ngelanjutin studi di USA, tapi Nabil hanya gak sanggu p kalo harus kesepian tanpa Siscka,”
“Inget Min, didunia ini yang sayang ama Nabil bukan hanya Siscka. masih banyak yang lain yang merhatSiscka Nabil. Jadi kepergian Siscka bukan berarti kesedihan Nabil. berjuanglah untuk mereka. Jadilah Nabil yang tegar seperti saat Siscka tinggalkan dulu. Jadilah Nabil yang enggak cengeng en punya tekad baja buat bertahan!,”
“Kamu benar In, jika aku tetap begini aku gak akan pernah maju,”
“Nah, gitu dong. Berjuanglah untuk Siscka. buktikan ama Siscka bahwa Nabil bisa berprestasi dan sukur-sukur bisa ngelanjutin studi di Amrik, biar bisa deket lagi ama Siscka,”
“Oke deh mulai sekrang Nabil janji bakal berjuang buat Siscka. Ngomong-ngomong loe pernah gak liat pelangi yang lebih indah daripada pelangi itu?,”Tanyaku mengalihkan pembicaraan. Memang hujan sudah agak reda, pelangi indah itu seakan mengerti akan rasa hatiku yang mulai sedikit tenang. Perlahan ia memamerkan warna-warna indahnya.
“Mungkin bagi Siscka ini pelangi terindah yang pernah Siscka liat, kalo Nabil ndiri gimana ?,”
“Kalo Nabil sih merasa pelangi itu gak ada pa apanya jika dibandingkan pelangi yang pernah Nabil liat,”
“Emang Nabil liatnya dimana?,”
“Di mata Siscka. asal Siscka tahu, tiap Nabil melihat kedalam mata Siscka, Nabil bisa ngeliat pelangi penuh warna warni disana. Dan tiap Nabil liat satu persatu warnanya Nabil dapat ngerasain kalo Siscka tercipta untuk Nabil,”. Siscka hanya terdiam mendengar kata kataku. Entah ia merasa tersanjung atau mungkin ia menganggap aku sama dengan cowok lain yang jago menggombali kekasihnya.
“Oh ya nie In, udah siang nich. Nabil pulang dulu yach,”
“Iya dech, tapi besok kesini lagi ya!!,”
“Insya Allah kalo gak ada halangan,”
“Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikum sayang,”
* * *
Hari telah beranjak sore. Langit putih telah memerah, memantulkan kilau keemas emasan Matahari yang sekan meredup,”
“Kring…….Kring……Kring,” Handphoneku berbunyi
“Halo…..Asslamu’alaikum tante,” ternyata Ibunda Siscka yang menelponku.
“Wa’alaikumsalam Bil,”
“Ada apa Tante?,”
“Siscka Bil, Siscka!!!,”
“Ada apa dengan Siscka Tante?,” aku mulai cemas.
“Sisckai kecelelakaan Bil, tadi saat kamu pulang ia minta izin buat pergi ke Mall. Katanya sich mo belSiscka kenang-kenangan buat kamu. Tapi dalam perjalanan pulang ia mengalami kecelakaan. Dan….dan….nyawanya tidak tertolong,” cerita tante Titi sambil terisak isak.
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,”aku serasa tak sanggup menerima kenyataan ini. baru tadi pagi aku merasa sedih akan ditingglkannya pergi ke Amerika, sekarang ia harus meninggalkanku tuk selamanya. Sungguh berat aku menerimnya. Rasanya aku ingi segera menyusulnya. Begitu tante titi mematikan teleponnya aku segera beranjak pergi ke Rumah sakit tempat Siscka berada. Ku pandangi wajah manisnya. Namun sungguh aneh, wajah itu seakan menabar senyum padaku. Terlihat jelas kedua lesung pipit menghias kedua belah pipinya. Perlahan kutinggalkan kamar tempat Siscka berada. Aku tak sanggup lagi melihta wajahnya. Tak terasa air mataku menetes. Kurebahkan badanku di rerumputan di taman rumah sakit itu. kupandang bulan malam itu tidak begitu indah tertutup gumpalan awan. Sepertinya ia mengerti bahwa aku sedang berduka. Tiba tiba aku melihat wajah Siscka jelas tergambar di rembulan itu. ia terlihat begitu cantik menebar senyuman manis. Dan yang lebih mengejutkan lagi ia mengucapkan sepatah kata yang pernah ia katakan.
“Inget Bil, didunia ini yang sayang ama Nabil bukan hanya Siscka. masih banyak yang lain yang merhatiin Nabil. Jadi kepergian Siscka bukan berarti kesdihan Nabil. berjuanglah untuk mereka. Jadilah Nabil yang tegar seperti saat Siscka tinggalkan dulu. Jadilah Nabil yang enggak cengeng dan punya tekad baja buat bertahan!,”
Aku kini mengerti, ternyata itu adalah kalimat terakhirnya. Seperti ia telah tahu bahwa ia akan pergi selamanya. Namun kini aku sadar bahwa masih banyak hal yang harus kulakukan. Menangis bukan cara untuk menyudahi sebuah kesedihan. Aku bertekad untuk berjunga deminya, demi Siscka yang menyayangi aku dengan sepenuh hati. Aku juga bertekad akan berjuang meraih prestasi agar dapat melanjutkan studi di Amerika untuk melanjutkan cita-citanya yang belum tercapai.

ensikLOVEdia

Pagi itu rembulan belum pergi,namun sang surya sudah tak sabar tuk menyinari.perlahan lahan ia tampakkan dirinya,memeluk dunia dengan hangatnya,serta menyelimuti dunia dengan kilau cahayanya.kicau burung belibis di pepucukan cemara menambah semarak pagi gembira. Entah mengapa pagi tu aku terpanggil untuk berangkat ke sekolah lebih awal dari biasanya. Perlahan kukayuh sepeda dengan keraguan yang meraung didalam kalbu. Entah apa yang akan terjadi aku tak tahu. Rasa risau sekan bergelayut dalam hati sanubariku. Pikiranku melayang ,mengawang –awang entah apa yang aku pikirkan.
“Pagi bener nich,” sapa Rahma yang dari tadi ternyata dari tadi telah ada disampingku membuyarkan semua asa yang berekcamuk dalam batinku. Ia adalah teman sekolahku. Kelas kami memang berbeda , ia duduk dikelas Tiga B sedangkan aku duduk di kelas 3 C. yach,di sekolahku anak putra dan putri memang di pisah.
“Biasa ajach kale’. Loe ja’ kali yang baru nengo’ “
“O yach, ada salam tuch “
“Dari sape ? “ Aku penasaran
“The Smartes girl di kelas aku itu lho !,”
“Siapa yach ?,”
“Itu lho, Iin “
“Ooh,” Aku mulai ingat. Yach aku memang pernah denger nama itu. Tapi tak pernah aku tahu rupa wajah cewek yang disebutkan oleh Rahma itu. Aku hanya tahu dia adalah Santri putri yang pernah jadian dengan temanku Andra. Kebetulan Andra sering bercerita tentang dirinya kepadaku.
“Woy, kok ngelamun,”
“Enggak kok,”
“O yach udah dulu nich, aku mo cepetan,”
“Yah udah buruan sana !” Rahma memepercepat laju motornya kembali meninggalkan aku dalam lamunan dalamku yang penuh rasa ingin tahu. Kembali loe melamun mencoba menggali ingatanku tentang semua cerita Andra tentang mantan kekasihnya itu. Ingin rasanya aku mengenalnya karena telah aku penasaran akan rupa cewek yang dulu dibanggakan Andra dalam setiap cerita. Penasaran aku akan rupa wajahnya yang kabarnya cantik jelita.
Tak terasa tibalah aku di sekolah. Namun, penasaran yang berkecamuk dalam dadaku tak kunjung hilang. Kucoba untuk memendam semua perasaan kurang nyaman ini, tapi sayang aku tak mampu. Perasaan itu sekan-akan memaksa aku tuk mengenal Iin lebih jauh. Pikiranku semakin kacau. Bahkan, saat jam belajar tak kuasa aku untuk memeperhatikan. Rasanya ingin aku beranjak pulang kemudian tidur untuk melupakan semua yang terjadi. Namun dalam hati kuputuskan sesuatu. Kan kukirimkan sepucuk surat tanda perkenalan pada dirinya. Paling tidak, aku akan sedikit mengenal dirinya sehingga hilanglah penasaranku akan dirinya. Namun pagi tu tetaplah kelabu. Seakan-akan kabul tebal menyelimuti kalbu.
Senja hari, kutatap cakrawala di batas mega. Nun jauh disana cahaya keemasan di kaki langit dunia. Perlahan kutorehkan kata lewat ujung pena di atas kertas polos tak berwarna. Kucurahkan semua kata yang hendak kutanyapada dirinya. Walau begitu ringkas namun kuyakin akan penuh makna. Karena setiap kata yang ku tulis merupaka curahan asa yang bergemuruh di jiwa. Sayup-sayup Adzan Maghrib menggema di langit dunia. Kulipat surat yang telah kutulis dan ku pendam dalam saku baju kokoku. Perlahan aku bangkit dari tempat duduk untuk menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim, Shalat Maghrib. Sejenak ku lupakan semua kerisauan di hatiku.
*****
Pagi ini tak seperti hari kemarin. Aku berangkat pagi bukan karena ada sesuatu yang memaksa, melainkan karena keinginanku untuk bertemu Rahma lagi untuk menitipkan surat untuk Iin. Kukayuh sepedaku dengan sedikit cepat. Tak ada sesuatau yang menghalangiku lagi. Entah mengapa aku hari ini begitu semangat. Semangatku bagaikan semanagt seorang kekasih yang tak sabar tuk menemui sang pelita hati. Waktu baru menunjukkan pukul enam, tapi aku telah berdiri menunggu kedatangan Rahma di epan sekolah. Berjalan aku mondar – mondir untuk menghilangkan letihnya menunggu.
“Nunggu Siapa Yo,” Tanya Ndut temanku yang duduk dikelas 3A.
“Enggak nunggu siapa-siapa kok,”
“Masuk yo’ ,” Ajaknya
“Entar ajach,”
“Emang ada apa,”
“udah pergi aja sana,nanti loe juga tau sendiri kok,” Ndut berlalu meninggalkan aku yang merasa bosan harus menunggu segitu lama.
“Yo!!,” Suara itu mengejutkan aku. Ternyata Rahma yang aku tunggu telah ada dihadapanku.
“Kok siang bener, aku udah lama nih nungguin,”
“Emang ada apa,”
“Aku mo minta tolong ama loe,”
“Minta tolong apa ?,”
“Gini, bise ga’ loe kasi’kan surat ini ke Iin,” Aku mengulurkan surat yang telah ku tulis kemarin sore
“Oo……Jadi ceritenye loe na’ ngedeketin Iin yach ?,”
“Enggak kok,”
“Kok pake surat-suratan segala,”
“Aku tu Cuma mo kenal doank kok,”
“Ya udah kalo gitu’ entar aku sampein,”
“udah dulu ya, aku mo masuk nich.entar terlambat lagi,”
“Oke dech,” Aku beranjak meningglkan Rahma bersama temannya si Ria. Kini tak ada lagi kata risau dan penasaran yang akan menggrogoti hatiku lagi. Karena telah kukirim semua bimbang dihati dalam surat itu. Tinggallah kujalani hari dengan ceria.
“Ada ape nich, kok nampak girang bener,” Tanya Lukman yang ternyata memeperhatikan tingkahku kali ini.
“Engga’ ada apa-apa kok,”
“Ah yang bener,”
“Udah nanya ga’ pecaya’ lagi ,” Aku sedikit jengkel
“Abis nampakknya happy banget pagi ini, ga’ kayak kemaren cemberut aja melulu,”
“Hidup manusia itu penuh warna-warni kadang kita akan merasa pahitnya menderita tapi suatau saat kita akan merasakan manisnya bahagia,”
“Wow, kata- kata orang bijak nich,”
“Cape dolo’ Tyo githu loch,’
“he’eh ga’ bise dipuji sedikit, macam na’ terbang jak kelangit,”
“Abis, loe yang mulai duluan,”
“Iya dech”,.
Bel tanda masuk telah bebrbunyi. Sejenak kami hentikan percakapan kami. Kali ini kucoba untuk memeprhatikan semua pelajaran yang diberikan guru. Aku tak mau seperti kemarin lagi. Aku mau hari ini lebih baik dari hri kemarin dan kuharap hari esok akan lebih indah dari pada hari ini.
*****
Dua hari sudah surat kukirimkan. Balasannya tak kunjumg aku dapatkan. Dua hari aku menunggu Siti di depan sekolah namun batang hidungnya tak pernah kelihatan. Rasa risau kembali menggantung dijiwaku. Aku takut kalau semua yang aku tanyakan lewat surat itu mengusik kedamaian hatinya. Aku takut ia tak ingin mengenalku. Namun aku juga sadar, selama ini aku tak pernah mengenalnya. Mungkin saja aku ini asing baginya.
Hari ini aku berangkat agak siangan. Aku tak mau lagi menunngu begitu lama. Biarlah kalau suratku memang tak dijawab. Semua harapanku hampir punah. Perasaan penasaranku sudah hilang ditelan masa.
Siang ini terasa segitu terik. Perlahan kukayuh sepedaku. Tak sabar rasanya ingin cepat pulang melepas lelahku hari ini.
“hei tyo !!!,” Suara itu mengejutkanku. Ria rupanya. Ia juga temannya Iin dan Rahma.
“Ada apa ria?,”
“Ni ada surat dari Iin,” ucapnya seraya mengulurkan sepucuk surat dari saku tasnya.
“oh..thanks yach,”ku raih surat itu dari tangan Ria dengan penuh rasa ingin tahu.
“oh ya….si Rahma mana?, kok dua hri aku tunggu ga’ pernah nongol sich,”
“Kurang tau juga tuch, mungkin berangkat siangan kale,”
“Mungkin ajach sich,”
“Tyo, pulang yo’,” ajak Jian teman sekelasku yang ternyata telah menungguku di sebarang jalan.
“Udah dulu ya Ria, Jian dah nunggu tuch”, ucapku pada Ria.
“Ya udah, tapi inget baca suratnya sendirian ajach,”
“Siip dech,”Aku beranjak meninggalkan Ria.Sedikit kupercepat laju sepedaku, rasanya tak sabar aku untuk segera membaca surat ini.
Tak terasa tiba sudah aku dirumah. Segera kubuka lipatan surat dari Iin itu. Kucoba untuk memahami setiap kta yang ia tulis. Semua begitu jelas seakan tak ada yang ia sembunyikan. Bahkan hal pribadi yang aku tanyakan ia jawab dengan gambalang seperti tanpa beban.
Kini kutoreh lagi beberapa patah kata lewat ujung pena. Penasaranku kini kembali bahkan mungkin lebih dari sebelumnya. Aku kembali mengutarakan beberapa patah tany yang masih bersemayam di hati yang paling dalam. Kucoba mengngatkannya atas Andra. Ingin tahu aku perasaannya atas Si Andra saat ini. Masihkah ia sayang atau sayang itu telah berganti benci. Aku tanyakan semua bukanlah karena aku punya maksud yang tidak baik. Aku hanya taku jikalau aku dianggap ingin menyabet temen dari belakang. aku takut jikalau suratku membuat Iin merasa risih atau tak enak hati.
Esok hari seperti sebelumnya aku berangkat lebih awal. Kurasa biarlah aku menunggu kali ini. Aslkan nanti semua jawaban memuaskan hati.
“Hee’eh nunggu Rahma jak loe teros,’Ledek temenku yang lebih akrab dipanggil Badot. Ternyata ia tahu bahwa beberapa hari ini loe menunggu Rahma.
“Emang apa urusan loe,”
“Nungguin peliat hati nich,”
“Udah dech ga’ usah ngeledek orang. Mending pegi aja sana !,” Aku sedikit jengkel.
“githu ajach marah. Entar cepet tua lagi,”
“Loe ni, dah tau orang marah masih jak banyak bacot,”
“Sorry dech kalo githu,” Badot melangkahkan kakinya pergi menjauh dariku. Sedangkan aku harus kembali bergelut dengan pekerjaan yang sungguh memebosankan, menunggu. Tiba-tiba dari kejauhan kulihat Rahma dan Ria telah tiba. Kuberlari mengejar mereka. Tak ingin aku surat ini menginap semalam lagi.
“Rahma,Ria !!! tungguin donk,”
“Eh Tyo, ada apa lagi nich ?,” tanya Rahma
“Aku mo minta tolong lagi ,”
“Pasti mo ngirim curat lagi yach,” celoteh Ria
“Ah loe, tau-tau jak, kalu iya emang ngape,”
“Emangnya kame’ ni Bu’ Pos ape?,” Gurau Rahma
“Eh masak ama kawan sendiri perhitungan ,”
“Ya udah, mane curatnya,” Kuulurkan surat yang kutulis kemarin.
“He’eh pake amplop segale,”
“Bukannya ape, aku takot kita’ bace dol’. Masa’Iin dapat sisa. Cian donk,” Aku sedikit bergurau.
“Ceileh segitunya. Kame ndak gituk beh,”
“Enggak kok Cuma gurau,”
“udah dulu ya Yo !!!,Kame mo cepet ngantar ni surat,”
“Oke dech, o yach jangan lupa sampaikan salam aku ke Iin,”
“Sieep dech,”Rahma dan Ria berabjak pergi meningalkanku, aku juga mulai melangkahkan kaiku menuju sekolah. Perlahan kulantunkan beberapa lagu kesayanganku. Kulangkahkan kaki dengan riang dihati. Entah mengapa sejak aku sedikit mengenal Iin rasanya kehidupanku berubah. Kehidupanku terasa lebih berwarna.
“gi’ Happy nich,” Darwin menyapaku
“Ya tentu, abies ketemu ama Rahma,” Badot nyeletuk. Ingin rasanya aku memeukul perutnya yang sedikit buncit itu.
“Engga’ kok ,” Kututupi rasa bahagialoe kali ini.
“Kok nampaknya girang bener,”
“Biasa ajach tuch, kemaren juga girang,”
“Tapi pagi ini namapaknya lebih spesial,”
“kalo ga’ pecaya ya udach. Aku juga gak maksa,”
“Oke dech aku pecaya.Eh itu Pak Bambang,Masok yo’,” ajak Darwin. Kami perlahan masuk kedalam kelas. Kembali melaksanakan tugas kami sebagai pelajar yaitu belajar. Pagi ini semngatku lebih baik dari hari kemarin. Entah karena aku penasatanku akan Si Iin berkurang atau mungkin ada hal lain. Aku juga tak tahu. Yang aku tahu hari ini aku bahagia dan kuharap esok aku takkan berduka. Kujalani hari yang penuh warna ini dalam bahagia.
Entah mengapa seak kukenal Iin hidupku semua berubah.hidupku tersa lebih indah. Aku seakan akan ingin memilikinya. Walau aku tak pernah melihat rupa wajahnya.mungkin inilah yang dikatakan cinta. Ia merasuk kedalam jiwa siapa saja. Atau mungkin ini hanya sebatas nafsu yang ingin merusak hidupku. Entah aku tak tahu apa ini. Yang aku tahu rasa suka dan sayang mulai tumbuh dihatiku. Aku tak peduli kami pernah bertemu atau tidak. Yang terpenting aku sayang dia dan loe berjanji suatau saat kan aku ungkapkan ini semua pada dirinya. Dan jikalau ini baukan cinta kuyakin dia akan menghilang dari hatiku karena jika itu memang nafsu maka ia tak pernah abadi. Kuingin mencoba menjalani hingga waktu mebuktikan apakah itu cinta atau nafsu belaka.
*****
Pagi ini masih pagi. Namun sinar matahari sudah segitu terik. Seperti biasa kutunggu Rahma di sepan sekolah. Walau pastinya membosankan tapi kali ini kucoba untuk bertahan. Sesekali kulihat jam di handphoneku. Aku takut terlambat. Waktu sudah pukul enam empat lima. Rahma dan ria tak kunjung tiba. Kesabaranku sudah di ambang batas. Kutinggalkan tempat itu dengan sedikit kesal dihatiku.
“Masa’ jam segini belom datang ,” Guamamku dalam hati.
“Tyo ,”
“Eh lukman, ade ape ?,”
“Ni tadik ada titipan dari Rahma ,” Lukman mengulurkan sepucuk surat. Kuyakin surat itu dari Iin.
“Eh Iin tadi keluar lho ,” Ternyata Lukman sudah tahu hubunganku dengan Iin.
“Ah Bual jak kao ,”
“Masa’ ga’ pecaya’ ,”
“Emang loe ketemu dimana ,”
“Tadi ada di warung deket rumahku itu,” Aku mulai percaya. Yach memang rumah Lukman deket dengan sekolah. Jadi mungkin ajach semua yang ia katakan benar.
“Ia kemarin aku juga lihat di di luar,” Darwin ikut ambil bagian dalam percakapan kami. Ternyata ia juga sudah tau.
“Oh yach, kita’ bedua jangan ampe bilang sape-sape ye, entar aku dikira na’ ngambek cewek Andra ,”
“Emang ngape, die kan dah putos,” Celoteh Lukman.
“Bukannya gitu’ kame’ tak enak ma die. Macam na’ nyerobot dari belakang,”
“Kalau gitu’ masalahnya oke dech. Kame’ ga’ bakalan bilang ma spe-sape,”Kata Darwin.
“Kalau aku sich oce-oce jak,asal nanti istirahat ke kantin,”.
“Udah dolo’ bob. Aku na’ bace curat lo’ ,”
“Bace sama-sama jak,” pinta Darwin
“Kita’ nanti’ jak,”
“Ya dech klo githu,”. Aku bergegas meninggalkan Darwin dan Lukman. Segeraq kubuka lipatan surat yang sedikit kotor itu. Perlahan kubaca sebaris demi sebaris surat yang Iin tulis. Tak ingin kulewatkan walau satu huruf pun. Semua pertanyaanku kali ini ia jawab dengan berterus terang.” Ade’ mo ngejawab cemua p’tanyaan u coz ade’ pecaya’ klo u orangnya bs d’pecaya” begitu tulisnya. Aku sedikit bangga membaca kata yang ia tuliskan itu. Namaun dalam hati kecilku aku takut aku tak mampu menjaga kepercayaannya. Kucoba berjanji pada diriku untuk menjaga semua kepercayaan yang telah ia berikan kepadaku. Lewat surat itu Iin juga bilang kalo sebnarnya ia masih ska ma Andra tapi kalo Andra memang udah ga’ da perasaan gi mo di apain. Batinku kembali menerawang. Bingung aku jadinya. Bagaimana mungkin aku mo nmebak orang yang ternyata masih punya perasaan ama orang lain. “Iin kan dah putos, cobe jak loe tembak. Sape tau die mao’. Cinta kan bise pindah kelain ati ,” Tiba-tiba seperti ada yang membisikkan kata itu kedalam hatiku. Mungkin benar juga bisikan itu. apa salahnya aku mencoba, siapa tau ajach cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Lagian dari kata-katanya itu Iin udah tak berharap lagi akan hadirnya Andra dalam hidupnya lagi.
Sore kembali menjelang. Kali ini kembali kutulis surat buat Iin. Kusampaikan rasa banggaku atas kepercayaannya. Ku juga berterima kasih karena Iin udah mau ngejawab semua pertanyaanku. Kali ini selain surat yang kutulis itu kukirimkan ia dua bait puisi yang telah kutulis sebagai ungkapan rasa cinta yang membayangi jiwaku.
Waktu terus bergulir, petang yang remang berganti malam yang kelam hingga berakhir dengan pagi yang begitu terang. taj seperti sebelumnya kali ini aku menunggu Rahma di rumah Lukman.
“Gimana, Rahmanya dah dateng lom,” tanya Lukman.
“Nampaknya sich belom,”
“Jalan jak lo’, sape tau nanti kite lewat ada di warung tempat biase. Budak tu berangkatnya pagi,”
“Yo’lah kalo gitu,”. Kuturuti kehendak Lukman itu. kurasa ada benarnya juga.
“Tyo..Tyo!,” Suara itu menyapaku. Ternyata benar apa yang Lukaman katakan. Rahma dan Ria memang sudah ada di warung itu.
“Eits, kebetulan nich aku mo nitip……,”
“Suurat ,” Ria memotong kalimatku.
“Nah itu tau,”
“Mana suratnya?, siniin,” Pinta Rahma
“Ga’ sabaran banget,”
“Kame’ mo masuk nich,”
“nich, jangan lupa jangan dibaca sebelom Iin bace,” Ku lempar surat itu kepangkuan Rahma. Segera kutinggalkan warung itu. aku takut ada guru yang melihatku ngobrol ama anak putri. Apalagi ampe ketahuan ngirim surat, bise mampos.
Kini lega sudah hatiku. Tak sabar rasanya aku menunggu balasan suratku itu. Bagaimana reaksi Iin kalo tau perasaanku kepadanya. Mungkinkah ia akan marah ama aku, ataukah ia akan nerima cintaku itu. entah aku tak tahu apa yang akan terjadi. Namun yang pasti hari esok kan kutunggu. Tak ingin aku keingintahuanku bersemayam begitu lama di hatiku.
Pagi itu aku tak menunggu si Rahma. Biarlah Lukman yang mengambil Surat balasan itu. Memang sich aku sudah tak sabar menanti jawaban suratku itu. tapi ku yakin akan lebih baik kalau lukman saja yang mengambilnya. Lagian mending aku ngerjain PR ku yang belom selesai karena tadi malam aku gak sempat ngejainnya.
“Ei ngape loe tadi’ nda’ kerumah,” tanya Lukman pagi itu
“Emang ngape ?, ndak keh loe bise ngambek suratnya,”
“Mane ade aku ngambe’ budaknya ga’ mo ngasikkan. Katanya nanti siang jak,”
“Yaa udah dech kalo gitu’ ,” kulanjutkan kembali pekerjaanku.
Siang itu aku harus kembali bergelut dengan yang namanya menunggua. Ngebosenin memang, tapi kalo emang harus mau bagaimana lagi.Kulihat dari jauh Rahma telah keluar dari sekolah. Berlari aku menemuinya.
“woy mane balasannya,”
“He’eh ga’ sabaran banget nich, penasaran yach ma jawaban Iin,”
“Jawaban ape sich,” aku pura pura tak tahu apa yang Rahma bicarakan.
“Ah jangan pura-pura lagi dech,”
“Loe nembak Iin kan,”
“Mane ade,”
“Kayak kame’ tak tau jak,”
“ah kita’ ni banyak mulot,” Kusambar surat dari tanganRahma dan segera berlari meninggalkannya.
“Woy, hari jum’at kame’ kerumah loe ya,” teriak Rahma
“Terserah kita’ lah,”.Kularikan sepedaku deengan sedikit kencang. Tak sabar aku membaca balasan surat itu kali ini.
Kubaca surat itu perlahan. Aku sedikit kecewa, ternyata cintaku belumlah diterima. Ia masih ragu akan ketulusan cintaku. Ia merasa kami belum pernah bertemu, ia khawatir aku akn menyesal. Mungkin benar apa yang ia katakan, kami memang belum pernah bertemu sebelumnya. Mungkin aku terlalu tergesa-gesa. Aku mulai sadar akan kesalahanku. Kucoba tuk mengerti tapi walu bagaimanapun juga aku tetap kecewa. Hingga akhirnya kubawa kecewa itu dalam tidur panjangku.
*****
Pagi ini seperti hari sebelumnya matahari bersinar begitu cerah. Hari ini adalah hari libur kami anak MTs, yach hari ini memang hari Jum’at. Aku asyik berkutat dengan komputerku menulis sebuah Cerpen. Sebaris demi sebaris kata kuketik lewat ujung jari jemariku. Entah jadi atau tidak, katanya Rahma akn datang ke rumahku hari ini. Sambil terus menanti kuteruskan mengetik Cerpenku.
Waktu menunjukkan pukul sepuluh tiga puluh , Rahma belum juga datang. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara sepeda motor yang berhenti di rumah tetanggaku. Aku melongo’ lewat jendela. Ternyat Rahma dan temannya. Lalu, siap temannya itu, wajahnya begitu manis.
“Tyo,” panggil Rahma. Aku segera bergegas menemui mereka. Kulihat gadis manis itu menyambutku. Inikah Iin pikirku.
“Ini keh yang namanya Iin,” ku coba untuk menebak.Dia hanya tersenyum.
“Nah, gini’ ni kalau ratunya putri ketemu rajanya putra,” ledek teman Rahma yang lain.
“Terus kalu ini siapa,” tanyaku ingin tahi siapa cewek yang nyeletuk itu.
“oh ini yanti, tak tau keh,” Jawab Rahma.
“Tadik kok, bise tau kalo ini ni Iin,” tanya Yanti
“Ya neebak lah, kame’ kan pinya ikatan batin,” tersenyum.
“Ehm gombal jak,” Iin angkat bicara. Dari suaranya aku bisa menabak kalau dia itu sedikit tomboy.
“Apenye yang gombal, kalau kenyataannya memang gituk,”. Sungguh bahagia aku hari ini. Entah mimpi apa aku semalam. Snungguh aku terkejut akan hadirnya Iin dihadapanku. Sungguh wajhmnya tak jauh dari yang aku perkirakan. Saat dia senyum rasanya remuk hatiku olehnya. Mungkin satu jam kami asik ngobrol. Waktu pukul sebelas tiga puluh sudah. Sebentar lagi waktu jum’at tiba. Kutingglkan Iin dan teman-temannya. Tapi, kami berjanji akan bertemu lagi di rumah Darwin nanti sore. Rasanya belum puas aku memandang wajah manisnya.
Waktu menunjukkan pukul satu. Aku telah menunggu Iin dirumah Darwin. Sayngnya Darwin ternyata tak ada dirumah. Terpaksa aku harus menunggu mereka sendirian. Membosankan memang, tapi jika untuk seseorang yang kusayang mengapa tidak. Aku perlu berkorban. Pukul dua barulah Iin dan temannya tiba.
“Dah lama nungg boy,” tanya Iin
“Dari jam satu aku udah disini,”
“Kan janjinya jam dua,”
“Aku tu ga’ sabaran mo ketemu Iin yang manis,”
“Ha..kan gombal lagi,”
“Aku jujur, bukannya gobal,”
“iyekah ?,”
“Ya iyalah, emangnya aku punya tampang pembohong apa,”
“Nampaknye sich iye,”
“e loe ni,”
“ Gurau jak boy,”
“Tau…tau…, aku ni orangnya gak mudah esmosi, apalagi ama orang yang aku sayangi,”. Iin hanya tersenyum mendengar ucapanku itu. dua jam kami asyik ngobrol, kutanyakan semua tentang diriny. Seskali ia menanyakan tentang si Andra. Walau dihati rasa mendongkol tetapi aku tetap menjawabnya. Kuceritakan semua tentang Andra kepadanya. kuceritakan semua kebaikan Andra. Aku tak mau mengarang cerita untuk menjelek-jelekkan Andra. Aku tak ingin jika aku dianggap bersaing secara tak sehat.
“Gimana In, sekarang kita kan udah bertemu, mau gak jadi doi ku,”
“Gimana yach, kitakan baru kenal jadi aku kita belom mengenal satu sama lain. Sepertinya belumlah kita temenan dulu ajach,”
“Aku ngerti, tapi apa salahnya mencoba,”
“Kamu gak takut dibilang ngerebut Cewk Andra,”
“Apa salahnya, wong kita’ dah pitos. Lagian, itu resiko aku ,”
“Tapi sorry sekarang aku belom bisa,”
“Oke dech kalo gitu kan aku tunggu,”
“Ampe kapan,”
“Ampe mati kale’.”
“gak mungkin lagi,”
“Mungkin ajach, kalo cintaku tulus,”. Iin kembai memamerkan senyum manisnya.
Sore itu sepulang dari rumah darwin, aku kembali menulis surat. Kuungkapkan semua yang belum sempat aku katakan, karena Iin sudah keburu pulang. Lagian tadi aku gak enak kalo terlalu ngomong masalah pribadi karena temen-temen Iin semua ada disitu. Kukirmkan dua puisi karyaku. Kucurahkan semua do’a dan harapanku akan kehadiran Iin dalam hidupku dalam kedua puisi itu..

Nyambungnya kapan….kapan……!!!!! udah bad mood

CINTA 123

Oleh : Yahya Muhaimin

Malam itu angin berhembus begitu kencang. Awan hitam yang bergelayut di langit seakan tak sabar menurunkan rintik-rintik hujan membasahiku yang terhanyut dalam kebosanan menunggu. Waktu telah menunjukkan pukul delapan malam. Mala yang kutunggu sejak tadi tak kunjung datang. Berkali kali kucoba tuk menghubungi nomor handphonenya namuntak ada suara mengangkat telponku.. Perasaan khawatir mulai mengendap dikalbuku. Entah apa yang sedang ia lakukan. Apakah ia lupa telah berjanji tuk menemuiku di taman ini. pikiranku kacau semua rasa berkecamuk silih berganti.
“Hey…!!!,”`
“Eh.. Memey, gi ngapain di sini?|,”
“Engga’ ngapa ngapain kok !!! tadi Memey Cuma lewat doank. Trus tadi Memey liat Dito gi ndiri, emang loegi ngapain?” Memey balik bertanya
“Oh…gue sich gi nunggu Mala, dari tadi gak datang-datang. Gue SMS juga gak dijawab,”
“Bukannya Mala gi jalan ama Lana,”
“Emang loe tau dari mana?,”
“Tadi tuch,gue ketemu ia di jalan, kayaknya sich abis keluar dari Mall gitu dech,”. Hatiku semakin kacau, rasanya aku tak mampu untuk menerima kenyataan ini. apakah Mala setega itu ?. Bukankah ia sudah berjanji buat ketemu di sini.
“Kok bengong sich?.”
“Enggak kok, O yach Mey !!! Gue pulang dulu yach. Dach malem nich ,”
“Ga’ nunggu Mala lagi?,”
“Ngapain juga gue nunggu, wong yang ditunggu juga ga’ bakalan datang,” Aku segera beranjak meninggalkan Memey sendiri.
Perasaaan kesal kembali merasuk dalam benakku. Aku seaakan tak percaya akan semua yang terjadi. Kata kata indah yang ia lontarkan kepadaku ternyata hanya bagaikan dengungan nyamuk malam yang mengusik tidurku. Dan yang lebih menyakitkan lagi, Lana adalah mantannya Mala yang setahu aku masih diharapkan oleh Mala. Tak kusadari air mataku menetes. Mungkin aneh, aku seorang pria tapi mengapa aku tak sanggup menahan tangis ini. perlahan kuusap lembab kedua mataku dan kusapu butiran hangat iar mataku dengan sehelai tisu, namun ternyata aku tetap tak mampu menahan kesdihan ini. inilah kali kedua aku harus merasakan sakitnya disakiti seorang wanita. Dan yang lebih parah lagi, orang yang menyakitiku kedua duanya adalah Mala.
“Trrrt….trrrt….trrt,”Handphoneku bergetar. Ternyata kali ini Mala mencoba menghubungiku.
“Hallo, Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikum salam, ada apa lagi ? dah capek keh jalan ama Lana?,”
“Kok Yayang ngomong gitu sich, Mala kan Cuma jalan sebentar ama Lana. Ia kan sebentar lagi mo pergi ke Mesir buat ngelanjutin studinya. Emang salah kalo Mala jalan ama ia buat terakhir kalinya,”
“Emang sich ga’ salah, tapikan bukan gini caranya. Loe biarin gua nunggu, trus loe asik jalan jalan ama cowok lain. Kalo loe bilang dari awal pasti gak bakalan kayak gini,”
“Emang apa urusan loe, kok gue harus lapor dulu ama loe mo jalan ama temen,”
“Loe tu gebetan gue, jadi gue bertanggung jawab ama loe. Lagian, elo kan udah janji buat nemuin gue di taman itu malam ini,”
“Loe emang cowok gue, tapi asal loe tau gue tu gak pernah cinta ama loe,”
“Trus kok selama ini loe bilang loe cinta ama gue?,”
“Eich…. Gak sah salah yach ! selama itu gue tu Cuma kagum ama perjuangan loe buat balik ama gua. Gue juga ngargain ketulusan cinta loe, makanya gue bilang juga cinta ama loe. En yang perlu dicatat gue nerima loe balik buat jadi pacar gue Cuma mo bikin loe seneng en gak lebih,”.
Hatiku semakin hancur. Aku sungguh tak menyangka kalau Mala sungguh tega melakukan semua ini kepadaku. Air mataku kembali mengalir. Tak sanggup aku menahan kepedihan ini.
“Loe nangis Dit?,”
“Enggak kok, gwa cuma nyadar bahwa gue tu gak pernah pantas buat loe. Trus gue juga mo bilang klo ini semua memang mau loe gua ikhlas buat nerima kenyataan ini. coz klo loe bahagia berarti gue harus bahagia,” Isak tangisku semakin keras.
“Dah lah Dit, coba dech loe lupain gue. Anggap gue gak pernah ada dihati loe,”
“Loe enak ngomong coz loe gak pernah cinta ama gue, jadi loe enak buat ngelupain gue. Tapi gue, gue tu sayang ama loe setulus hati,”
“Dit, cewek di dunia ini bukan hanya gue,”
“Emang loe benar La’, tpi asal loe tau gua bakal cinta Cuma ama loe. Kalo emang hubungan kita harus berakhir ampe sini doank bukan berarti gue gak cinta lagi ama loe. Gue Cuma ngargain perasaan loe coz gue gak mau orang yang gue sayangin sakit Cuma karena terpaksa nyintain gue. kalo emang harus ada yang tersakitin itu harus gue dan buka loe en kalo emang sekarang waktunya, gue ikhlas buat negjalanini ini semua,” aku mulai mencoba ikhlas melepasnya.
“La’, kayaknya udah dulu yach! Gue mau tidur nich, Asslamu’alaikum,” Aku tak ingin ia tahu bahwa aku masih menagis.
“Wa’alaikum salam,”
***

Hari ini begitu cerah, kicau burung belibis tak henti henti bersahutt sahutan menyambut semarak pagi ini. Hari ini hari pertama aku masuk sekolah setelah libur begitu lama. Tak sabar rasanya aku segera berangkat ke sekolah. Tak sabar rasanya ingin bertemu teman teman baru. Yang lebih membanggakan lagi kali ini aku telah memakai seragam putih abu-abu, jadi aku sudah resmi jadi anak ABG.
“Alo Dito !! loe nyambung di sini juga ?,”. Ternyata Memey juga masuk di sekolah yang sama denganku.
“Eh Memey, iya nich abis mo gimana lagi,”
“Dah dengar kabar Mala lom,”
“Dach deh Mey ga’ usah nyinggung masalah itu lagi. Lagian gue dah ngelupain semuanya kok,”
“Tapikan loe masih sayang kan ama ia ?,”
“Emang kenapa?,”
“Ada yang pengen gue sampain ama loe tentang Mala,”
“Emang ada apa, gue jadi bingung,”
“Kemaren gue sempat ketemu ama Mala, ia Curhat banyak ama gue tentang loe,”
“Emang ia ngomong apa ama loe,”
“Ia bilang ia nyesal udah minta putus ama loe, coz tanpa ia sadari ia tuh jatuh cinta ama loe,”
“Kok ia baru nyadar sekarang ?, setelah ia nyakitin gue dua kali?,”
“Gue juga gak tahu, tapi yang pasti ia baru nyadari ini semua setelah ia putus ama loe, ia sadar kalo ia butuh loe,”
Aku sungguh gak nyangka ini semua terjadi. Hatiku masih tak percaya akan yang dikatakan memey. Padahal perasaan baru kemarin ia meminta gue buat ngelupain ia. Benarkah apa yang baru saja dikatakan Memey.
Malam harinya kucoba tuk menemuinya, aku ingin tuk mematikan apa yang disampaikan Memey tadi pagi.
“Ada apa malam malam kesini,”
“Sorry kalo gue ngeganggu loe, tapi ada yang pengen gue sampein ama loe,”
“Emang ada apa Dit?,”
“Tadi pagi Memey cerita tentang loe,jadi maksud kedatangan gue ke sini gue Cuma mo mastiin kebenarannya,”.Mala terdiam.
“Kenapa diam, Apa semua itu gak benar?,”
“Bukan…bukan begitu Dit, sungguh aku tak mampu mengakui ini semua. Aku tak sanggup mengakui kalo aku tu sayang banget ama loe. Gue ngerasa bersalah pernah nyakitin loe. Asal loe tau sejak putus ama loe gue baru nyadar gue butuh elo. Hari hari gue sepi tanpa loe. Mungkin emang banayak cowok di dunia ini, tapi bagi gue gak ada yang lebih bai dari loe. Gak ada yang mampu tulus setulus loe,”
“Mala, gue gak pernah nyalahin loe dalam masalh yang gue salahin. Lagian itu semua kan udah berlalu. Kalo loe emang benar benar juga cinta ama gue, gue siap kok buat ngejalanin semua dari awal,”
“Benar Dit?,”
“Kapan sich Dito boong ama Mala,”
“Ah Dito dari dulu ampe sekarang gak ada beda,”
“Ya iyalah, kalo enggak ginikan namanya bukan Dito, tapi Mala suka kan?,”
“Ih Dito nie,negeledek teros,”.
“tapikan dunia tanpa ledekan itu sepi, dunia tanpa cinta pasti hampa dan dunia tanpa Dito yang imut and gokil pasti dech membosankan,”. Mala hanay tersenyum. Aku sungguh bahagia karena aku dapat kembali melihat senyum itu. Entah kali ini aku apakah aku akan kembali tersakiti oleh orang yang sama untuk ketiga kali apa tidak aku juga tak tahu. Namun aku bertekad buat ngejalanini hubungaan ini cinta ini sepenuh hati. Biarlah Mala menjadi cinta pertma, kedua, dan ketigaku.

CINTA 123

Oleh : Yahya Muhaimin

Malam itu angin berhembus begitu kencang. Awan hitam yang bergelayut di langit seakan tak sabar menurunkan rintik-rintik hujan membasahiku yang terhanyut dalam kebosanan menunggu. Waktu telah menunjukkan pukul delapan malam. Mala yang kutunggu sejak tadi tak kunjung datang. Berkali kali kucoba tuk menghubungi nomor handphonenya namuntak ada suara mengangkat telponku.. Perasaan khawatir mulai mengendap dikalbuku. Entah apa yang sedang ia lakukan. Apakah ia lupa telah berjanji tuk menemuiku di taman ini. pikiranku kacau semua rasa berkecamuk silih berganti.
“Hey…!!!,”`
“Eh.. Memey, gi ngapain di sini?|,”
“Engga’ ngapa ngapain kok !!! tadi Memey Cuma lewat doank. Trus tadi Memey liat Dito gi ndiri, emang loegi ngapain?” Memey balik bertanya
“Oh…gue sich gi nunggu Mala, dari tadi gak datang-datang. Gue SMS juga gak dijawab,”
“Bukannya Mala gi jalan ama Lana,”
“Emang loe tau dari mana?,”
“Tadi tuch,gue ketemu ia di jalan, kayaknya sich abis keluar dari Mall gitu dech,”. Hatiku semakin kacau, rasanya aku tak mampu untuk menerima kenyataan ini. apakah Mala setega itu ?. Bukankah ia sudah berjanji buat ketemu di sini.
“Kok bengong sich?.”
“Enggak kok, O yach Mey !!! Gue pulang dulu yach. Dach malem nich ,”
“Ga’ nunggu Mala lagi?,”
“Ngapain juga gue nunggu, wong yang ditunggu juga ga’ bakalan datang,” Aku segera beranjak meninggalkan Memey sendiri.
Perasaaan kesal kembali merasuk dalam benakku. Aku seaakan tak percaya akan semua yang terjadi. Kata kata indah yang ia lontarkan kepadaku ternyata hanya bagaikan dengungan nyamuk malam yang mengusik tidurku. Dan yang lebih menyakitkan lagi, Lana adalah mantannya Mala yang setahu aku masih diharapkan oleh Mala. Tak kusadari air mataku menetes. Mungkin aneh, aku seorang pria tapi mengapa aku tak sanggup menahan tangis ini. perlahan kuusap lembab kedua mataku dan kusapu butiran hangat iar mataku dengan sehelai tisu, namun ternyata aku tetap tak mampu menahan kesdihan ini. inilah kali kedua aku harus merasakan sakitnya disakiti seorang wanita. Dan yang lebih parah lagi, orang yang menyakitiku kedua duanya adalah Mala.
“Trrrt….trrrt….trrt,”Handphoneku bergetar. Ternyata kali ini Mala mencoba menghubungiku.
“Hallo, Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikum salam, ada apa lagi ? dah capek keh jalan ama Lana?,”
“Kok Yayang ngomong gitu sich, Mala kan Cuma jalan sebentar ama Lana. Ia kan sebentar lagi mo pergi ke Mesir buat ngelanjutin studinya. Emang salah kalo Mala jalan ama ia buat terakhir kalinya,”
“Emang sich ga’ salah, tapikan bukan gini caranya. Loe biarin gua nunggu, trus loe asik jalan jalan ama cowok lain. Kalo loe bilang dari awal pasti gak bakalan kayak gini,”
“Emang apa urusan loe, kok gue harus lapor dulu ama loe mo jalan ama temen,”
“Loe tu gebetan gue, jadi gue bertanggung jawab ama loe. Lagian, elo kan udah janji buat nemuin gue di taman itu malam ini,”
“Loe emang cowok gue, tapi asal loe tau gue tu gak pernah cinta ama loe,”
“Trus kok selama ini loe bilang loe cinta ama gue?,”
“Eich…. Gak sah salah yach ! selama itu gue tu Cuma kagum ama perjuangan loe buat balik ama gua. Gue juga ngargain ketulusan cinta loe, makanya gue bilang juga cinta ama loe. En yang perlu dicatat gue nerima loe balik buat jadi pacar gue Cuma mo bikin loe seneng en gak lebih,”.
Hatiku semakin hancur. Aku sungguh tak menyangka kalau Mala sungguh tega melakukan semua ini kepadaku. Air mataku kembali mengalir. Tak sanggup aku menahan kepedihan ini.
“Loe nangis Dit?,”
“Enggak kok, gwa cuma nyadar bahwa gue tu gak pernah pantas buat loe. Trus gue juga mo bilang klo ini semua memang mau loe gua ikhlas buat nerima kenyataan ini. coz klo loe bahagia berarti gue harus bahagia,” Isak tangisku semakin keras.
“Dah lah Dit, coba dech loe lupain gue. Anggap gue gak pernah ada dihati loe,”
“Loe enak ngomong coz loe gak pernah cinta ama gue, jadi loe enak buat ngelupain gue. Tapi gue, gue tu sayang ama loe setulus hati,”
“Dit, cewek di dunia ini bukan hanya gue,”
“Emang loe benar La’, tpi asal loe tau gua bakal cinta Cuma ama loe. Kalo emang hubungan kita harus berakhir ampe sini doank bukan berarti gue gak cinta lagi ama loe. Gue Cuma ngargain perasaan loe coz gue gak mau orang yang gue sayangin sakit Cuma karena terpaksa nyintain gue. kalo emang harus ada yang tersakitin itu harus gue dan buka loe en kalo emang sekarang waktunya, gue ikhlas buat negjalanini ini semua,” aku mulai mencoba ikhlas melepasnya.
“La’, kayaknya udah dulu yach! Gue mau tidur nich, Asslamu’alaikum,” Aku tak ingin ia tahu bahwa aku masih menagis.
“Wa’alaikum salam,”
***

Hari ini begitu cerah, kicau burung belibis tak henti henti bersahutt sahutan menyambut semarak pagi ini. Hari ini hari pertama aku masuk sekolah setelah libur begitu lama. Tak sabar rasanya aku segera berangkat ke sekolah. Tak sabar rasanya ingin bertemu teman teman baru. Yang lebih membanggakan lagi kali ini aku telah memakai seragam putih abu-abu, jadi aku sudah resmi jadi anak ABG.
“Alo Dito !! loe nyambung di sini juga ?,”. Ternyata Memey juga masuk di sekolah yang sama denganku.
“Eh Memey, iya nich abis mo gimana lagi,”
“Dah dengar kabar Mala lom,”
“Dach deh Mey ga’ usah nyinggung masalah itu lagi. Lagian gue dah ngelupain semuanya kok,”
“Tapikan loe masih sayang kan ama ia ?,”
“Emang kenapa?,”
“Ada yang pengen gue sampain ama loe tentang Mala,”
“Emang ada apa, gue jadi bingung,”
“Kemaren gue sempat ketemu ama Mala, ia Curhat banyak ama gue tentang loe,”
“Emang ia ngomong apa ama loe,”
“Ia bilang ia nyesal udah minta putus ama loe, coz tanpa ia sadari ia tuh jatuh cinta ama loe,”
“Kok ia baru nyadar sekarang ?, setelah ia nyakitin gue dua kali?,”
“Gue juga gak tahu, tapi yang pasti ia baru nyadari ini semua setelah ia putus ama loe, ia sadar kalo ia butuh loe,”
Aku sungguh gak nyangka ini semua terjadi. Hatiku masih tak percaya akan yang dikatakan memey. Padahal perasaan baru kemarin ia meminta gue buat ngelupain ia. Benarkah apa yang baru saja dikatakan Memey.
Malam harinya kucoba tuk menemuinya, aku ingin tuk mematikan apa yang disampaikan Memey tadi pagi.
“Ada apa malam malam kesini,”
“Sorry kalo gue ngeganggu loe, tapi ada yang pengen gue sampein ama loe,”
“Emang ada apa Dit?,”
“Tadi pagi Memey cerita tentang loe,jadi maksud kedatangan gue ke sini gue Cuma mo mastiin kebenarannya,”.Mala terdiam.
“Kenapa diam, Apa semua itu gak benar?,”
“Bukan…bukan begitu Dit, sungguh aku tak mampu mengakui ini semua. Aku tak sanggup mengakui kalo aku tu sayang banget ama loe. Gue ngerasa bersalah pernah nyakitin loe. Asal loe tau sejak putus ama loe gue baru nyadar gue butuh elo. Hari hari gue sepi tanpa loe. Mungkin emang banayak cowok di dunia ini, tapi bagi gue gak ada yang lebih bai dari loe. Gak ada yang mampu tulus setulus loe,”
“Mala, gue gak pernah nyalahin loe dalam masalh yang gue salahin. Lagian itu semua kan udah berlalu. Kalo loe emang benar benar juga cinta ama gue, gue siap kok buat ngejalanin semua dari awal,”
“Benar Dit?,”
“Kapan sich Dito boong ama Mala,”
“Ah Dito dari dulu ampe sekarang gak ada beda,”
“Ya iyalah, kalo enggak ginikan namanya bukan Dito, tapi Mala suka kan?,”
“Ih Dito nie,negeledek teros,”.
“tapikan dunia tanpa ledekan itu sepi, dunia tanpa cinta pasti hampa dan dunia tanpa Dito yang imut and gokil pasti dech membosankan,”. Mala hanay tersenyum. Aku sungguh bahagia karena aku dapat kembali melihat senyum itu. Entah kali ini aku apakah aku akan kembali tersakiti oleh orang yang sama untuk ketiga kali apa tidak aku juga tak tahu. Namun aku bertekad buat ngejalanini hubungaan ini cinta ini sepenuh hati. Biarlah Mala menjadi cinta pertma, kedua, dan ketigaku.

BENCANA

Kamis, 19 November 2009
Sepi di luar
Gumpalan kabut mendobrak pintu rumah
Anak-anak kampung sebelah
Mengetuk pintu minta sedekah
Langit belum runtuh, langit belum runtuh
Walau bumi kadang bergetar
Di seberang sana
Seorang embah ingin mati
Memahat endiri batu nisannya

Puisi yang terselip, Oktober 2009

AKU APA ADANYA

Senin, 02 November 2009
(Satu Sajak Buat Nurma)

Berjalan mengalur pasang surut waktu
Tak berhenti namun arah tak hendak memasti
Terombang-ambing
Terbuai dasyatnya gejolak cinta mendekam asmara
Entah mengapa
Saat ia di sisiku
Semua begitu indah
Dihiasi senyum manis nan menawan
Aku tertawan dalam kurung cinta mencekam
Seakkan tak hendak berpaling
Memang ia bukan milikku
Tapi kenangan indah senantiasa bersemayan dihati nan dalam
Seakan memaksa hendak kembali
Tapi kusadar hati yang pedih takkkan terobati
Walau seribu kembang kukirimkan
Walau seribu puisi kutuliskan
Semua hanya menjadi kenangan maya tak memberi arti
Hampa
Hidup tanpanya memang bukan sebuah jalan
Tapi hidup bersamanya adalah sebuah rintangan
Entah kemana kukan berpaling
Sedang desahan nafas menembang rindu nan dalam pada dirinya
Memohon aku tuk kembali bersamanya
Padahal itu tak mungkin
Sebatas mimpi yang merasuk dalam tidur panjang tak berakhir
Kucoba berbangkit
Mengoyak kisah hidup yang sempat terjalani
Tapi saat ia kembali
Semua seakan tak ingin
Beranjak menjauh dan tak hendak pergi
Kini aku tak mampu berucap
Semua patah kata telah kudesah
Semua yang tersisa hanya rindu mendalam dan ketakutan mencekam
Antara takdir dan kehendak hati
Mana yang hendak kuraih
Mana yang hendak kupilih
Kanku biarkan seiring lalu sang waktu yang bergulir
Entah dimana kan berakhir
Mungkinkah sampai nafas tak lagi mengalir
Namun yang pasti cinta yang terukir
Takkan kunodai dengan air mata yang mengalir

Kalah Jiwa

Jiwaku kalah
Terpendar memecah sukma
Terkurung sepi hening senja hati
Menggenggam erat jemari tegang mati
Hatiku bening tegang menyuci
Walau jiwaku jatuh dan kandas
Hanyut dalam deras arus samudera lepas
Bulan berdendang dalam terang angkasa malam
Sepi sunyi lelah menanti
Aku yang kalah
Yang terbuang dari nikmat jalan tuhan
Risau terdiam mati langkah
Bintang terbayang mengerdip cahya dalam tabir gelap jiwa
Sepi sunyi risau menanti
Aku yang kalah
Yang tersesat dari jalanmu
Desir angin tipis menepis
Bayangku tenang melangkah padamu
Dan kini aku kalah
Jiwaku jatuh terhanyut deras air mata menetes
Menggeliat di tanah retak
Melantun tembang-tembang rindu
Mengemas mimpi dalam tawa
Agar kiranya jiwaku bangkit
Kembali kejalanmu

Yahya Muhaimin-MAS_DU-Pontianak, Juli 2008

AKU INGIN TERBANG

Minggu, 25 Oktober 2009
YAHYA MUHAIMIN

Aku ingin terbang
Bukan dengan sayap garuda
yang telah patah dan hanya sisa bulunya saja

Aku ingin terbang
Bukan dengan sayap enggang
yang nyawanya telah tiada

Aku ingin terbang
Melintas pelosok hutan dan rimba
yang sisa ceritanya saja

Aku ingin terbang
Kemudian bersarang di pucuk khatulistiwa
yang panasnya menjelma bak neraka

Katakanlah :
Aku ingin terbang
Dengan busur yang melesat
kemudian jatuh di surga

Terlalu bosan jika aku harus tetap hidup di dunia
Capek pulang lomba, 24 oktober 2009 / 12:08

KERISAUAN

yahya muhaimin
Kerisauanku pagi ini terbaca sudah
Lewat kikik tawa yang mengantri di lorong telinga
Lewat senyum yang entah adalah bangga
ataukah makian yang diperhalus saja

Kerisauanku pagi ini terbaca sudah
dengan serak di bawah redup lampu
dan beratus ekor serangga yang terduduk kaku

Entah…
Adakah kerisauan pagi ini telah membunuhku
Dengan senyum yang mungkin adalah banngga
Atau mungkin makian yang diperhalus saja

panggung bobrok-ku, 24 oktober 2009/ 11:34

INDONESIAKU

yahya muhaimin
Indonesiaku adalah
Dua ratus juta batu nisan yang enggan diziarahi

Indonesiaku adalah
Ribuan lalat yang tewas di ujung lidi

Indonesiaku adalah
Tiga puluh butir nasi yang dimakan kami
Tkaum petani dan buruh miskin penduduk negeri

Indonesiaku
Aku malu menjadi bangsamu
Aku malu menjadi bagian dari kerakusan
yang memenggal batang leher

Indonesiaku
Aku ragu
Jika seratus tahun lagi di bumi ini
Masih ada namamu
Masih ada ocehan mulut-mulut busuk yang menjilat tapak kaki
From Be Ka : 24 Oktober 2009

CERITA BUAT IBU

Yahya Muhaimin

Ibu
Siang tadi,
aku melihat seorang bocah
Terdiam
Air matanya mengalir
Bercampur aroma keringat
Dan busuk bau sampah

Mungkin baginya hidup begitu keras
Untuk di jalani dibawah terik
yang telah menggelapkan warna kulit

Tajam matanya
Menggilas debu yang berterbangan
Berkaca pada genangan lumpur selokan

Ibu
Apa yang terjadi dengannya?
Apakah ayahnya telah mati? Meninggalkan ia sendiri
Sunyi sepi merangkak di kegelapan dunia ini

Ibu
Aku sungguh kasihan pada dirinya
Tapi apa daya duhai Ibu yang tercinta
Nasib kita tidaklah lebih baik darinya

TUHAN DI NEGERIKU TELAH TERGUSUR

Yahya Muhaimin

Tuhan di negeriku telah tergusur
Oleh nafsu yang bersarang di dalam dada
Di matanya mengalir darah
Di hatinya menahan amarah

Tuhan di negeriku telah tergusur
Oleh mereka, manusia tanpa roh
Yang mengaku sebagai pemimpin berhati nurani

Dan kini, saat duka melanda penjuru negeri
Mulut-mulut busuk itu memanggil :
Tuhanku !, Kemana kini engkau pergi
Tidak malukah mereka?

Tuhan di negeriku telah tergusur
Oleh materi yang dipertuhankan

NEGERI SAMPAH

Yahya Muhaimin

Di negeri yang sampah ini
Aku mengeja berpatah-patah kebisuan
Lewat desahan nafas
Lewat sosok-sosok yang meringis kelaparan

Di negeri sampah ini
Aku melihat berjuta-juta nyawa
Mengantri menunggu ajal

Di negeri yang sampah ini
Rakyat diajarkan cara mengemis
Dengan bantuan langsung tunai

Sungguh kini aku telah terlalu bosan
Karena sampah ini telah terlau sesak
Untuk terus kutawan dalam kebimbangan
Untuk kuabadikan dalam setiap kerinduan

Negeriku, negeri sampah
Sarang koruptor dan para bedebah

MENUNTUT PERTANGGUNG JAWABAN (yahya muhamin)

Kamis, 22 Oktober 2009
Dalam sejarah ulama salaf dikisahkan suatau ketika Nabi memberi jabatan kepada seorang sahabatnya bernama Miqdad bin Aswad. Beberapa hari berikutnya, Rasulullah bertanya kepadanya : “Wahai Miqdad, bagaimana pendapatmu sendiri dan orang banyak tentang amanah yang aku berikan kepadamu ?” maka Miqdad menjawab: “Sesungguhnya saya merasakan bahwa amanah itu adalah musibah berat bagi saya, sedangkan orang banyak berkomentar bahwa saya menurut mereka sedang mendapat anugerah”.
Dari sini, rasulullah memberi sebuah nasehat. Dan Al-Miqdad pun segera memanggil sahabat lainnya untuk mendengar pesan beliau yang berbunyi : “Kalau kalian berkehendak, saya akan memberitahukan kepada kalian tentang jabatan. Apa itu ? Pertama, ia sebagai celaan. Kedua, ia sebagai penyesalan. Dan yang ketiga, ia sebagai azab di hari kiamat. Tapi semua itu akan terhindar, apabila pemegang amanah jabatan tersebut berlaku adil”.(H.R. Imam at-Tabrani dari Auf bin Malik).
Belajar dari kisah sahabat tadi, selayaknyalah kita sadari bahwa menjadi seorang pemimpin itu bukanlah hal yang mudah. Menjadi seorang pemimpin berarti memikul sebuah amanah berat yang suatu saat dituntut pertanggung jawabnya. Seorang pemimpin bertanggung jawab terhadap semua yang dipimpinnya. Makin tingggi jabatan serta makin besar ruang lingkup yang ia pimpin, makin besar pula tanggung jawab yang harus ia pikul.
Mengenai Tanggung jawab dikisahkan sebuah riwayat bahwa suatu ketika Abu Muslim Al-Khaulani yang merupakan salah satu ulama tabi’in, memasuki istana Muawiyah bin Abu Sufyan dengan mengatakan : “ Semoga keselamatan atas anda wahai penyewa!” Para pengawal Muawiyah serentak membentak : “Katakanlah!,wahai sang pemimpin” Abu Muslim pun mengulani salamnya : “Semoga keselamatan atas anda wahai penyewa!” Pengawal itupun kembali mengatakan : “Katakanlah !,wahai sang pemimpin” Maka saat itulah Muawiyah bangkit dan berkata : “Biarkanlah Abu Muslim berkata sehendaknya, karena sesungguhnya ia lebih tahu atas ucapannya”.
Setelah itu Abu Muslim berkata : “Sesungguhnya anda wahai Muawiyah, adalah penyewa yang mana Allah telah menyewakan kambing-kambingnya kepadamu untuk digembalakan. Maka jika anda oleskan Qatirah (Obat kudis bagi binatang) pada tempat sakitnya, anda obati yang sakit, anda kendalikan dari yang pertama sampai yang terakhir dari domba-domba itu, niscaya sang pemilik domba akan memenuhi upahnya kepada anda. Namun, jika anda lengah mengoleskan obat pada penyakit kudisnya, tidak mengobati domba yang sakit dan tidak mengurus maupun menjaganya tentulah sang pemilik domba akan menghukum anda”.
Dalam riwayat lain diceritakan bahwa Umar bin Khattab.ra pernah mengungkapkan besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di akhirat nanti. Beliau berkata : “Seandainya seekor keledai terperosok di kota Baghdad niscaya Umar akan dimintai pertanggung jawabannya, seraya akan ditanya mengapa tidak kau ratakan jalan itu untuknya ?” . Itulah keteladanan yang dilukiskan para salafus salihin tentang beratnya tanggung jawab pemimpin di hadapan Allah SWT.
Pada dasarnya, dalam Islam sebuah pertanggung jawaban berpijak atas dasar perbuatan Individu semata. “Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatan kembali kepada dirinya dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”(QS al An’am:164)
Perbuatan individu merupakan gerakan yang dilakukan seseorang pada waktu, tempat, dan kondisi-kondisi tertentu yang mungkin berpengaruh kepada orang lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa kepemimpinan seorang pemimpin juga termasuk perbuatan Individu. Jadi seorang pemimpin bukan berarti memikul dosa yang dipimpinnya, melainkan ia harus memikul beban tanngung jawab terhadap kepemimpinannya.
Seorang pemimpin yang cerdas selayaknya tidak meremehkan sekecil apapun perbuatan dosa yang ia lakukan dalam kepemimpinannya. Mengapa demikian? Karena mungkin saja sesuatu perbuatan yang jelek itu berawal daripada sesuatu yang kecil. Bila pengaruhnya serta akibatnya terus berlangsung lama maka mungkin saja dosanya akan berlipat ganda.
Allah SWT berfirman : “Kami menuliskan apa-apa yang mereka perbuat dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan”(QS.Yasin: 12). Ayat ini mengaskan bahwa seseorang tidak hanya dimintai pertanggung jawaban akan perbuatannya melainkan juga akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya itu. Jadi seseorang yang berbuat baik dan jahat akan mendapat pahala serta menanggung dosa, ditambah pahala atau dosa orang yang menirunya. Oleh karenanya sebagai seorang pemimpin yang bertanggng jawab akan budi pekerti yang dipimpinnya maka hendaklah seorang pemimpin mampu menjadi suri tauladan yang baik bagi yang dipimpinnya.
Marilah kita merenung sejenak seraya bertanya, apabila seorang pemimpin yang berkuasa penuh memerintahkan kita untuk melakukan suatu perbuatan dosa. Apakah pemimpin itu yang akan menannggung dosa rakyat yang ia paksa, ataukah rakyat juga harus menanggung dosanya walaupun melakukan perbuatan tersebut di bawah sebuah tekanan?
Seorang pemimpin tidak dikatakan memaksa selama dalam diri rakyat masih ada kehendak. Perintah seorang pemimpin baik berupa lisan maupun tulisan kepada bawahnnya tidak berarti menggugurkan tanggung jawab bawahannya terhadap apa yang telah ia perbuat. Bahkan Kitabullah Al Qur’an sangat mencela oarang yang berbuat dosa dengan alasan perintah dari pemimpinnya. Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: “Alangkah baiknya, andaikata Kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul. dan mereka berkata;:"Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar Kami, lalu mereka menyesatkan Kami dari jalan (yang benar)” (QS. Al Ahzab : 66-67).
Allah membantah dengan tegas,: (Harapanmu itu) sekali-kali tidak akan memberi manfaat kepadamu di hari itu karena kamu telah Menganiaya (dirimu sendiri). Sesungguhnya kamu bersekutu dalam azab itu.(QS. Az-Zukhuf : 39).
Sezalim-zalimnya seorang pemimpin, ia hanya mampu memaksa lahiriahnya saja. Ia tak akan pernah mampu untuk menguasai batinnnya. Untuk itu, yang dipimpin juga mempunya tanggung jawab terhadap akidahnya meski disana ada sebuah perintah atau larangan dari seorang pemimpin.
Bebeda dengan hukum paksaan yang menimpa orang-orang lemah yang ditindas penguasa yang mengancam akan membunuhnya dam memang bisa dilaksanakan. Ini pernah terjadi pada awal perkembanagan islam di mekkah dimana orang yang masuk Islam dipaksa murtad seperti Bilal bin Rabbah, keluarga Yasir , dan lainnya. Mereka dipaksa menyatakan kekufurannya.(QS. An-Nahl:106 dan an-Nisa : 97-99).
Tanggung jawab seseorang berkait erat dengan kewajiban yang diembannya. Makin tinggi kedudukannya di masyarakat, makin tinggi pula tanggung jawabnya. Seorang pemimpin negara bertanggung jawab atas prilaku diri, keluarga, masyarakat, serta rakyat yang dipimpinnya. Rasulullah bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya”.
Tanggung jawab tersebut bertingkat-tingkat sesuai dengan levelnya. Kepala keluarga, kepala desa, camat, bupati, gubernur, atau bahkan presiden akan dimintai pertanggung jawabannya sesuai dengan ruang lingkup kepemimpinannya. Seorang mukmin yang cerdas tidak akan mudah menerima amanat kepemimpinan kecuali dengan penuh kehati-hatian dan senantiasa berusaha memperbaiki diri, keluarga serta rakyat yang dipimpinnya. Bahkan Rasulullah tidak mengizinkan seseorang yang berusaha mencari jabatan sebagaiamana yang tertuang dalm haditsnya: “Barang siapa yang meminta meminta menjadi hakim dan berusaha untuk itu, maka ia akan terbebani olehnya. Dan barang siapa yang tidak meminta untuk menjadi hakim, dan tidak berusaha memintanya, (kemudian ia ditunjuk untuk menduduki posisi itu), maka Alah menurunkan malaikat untuk menunjukkannya” (HR. Turmudzi,Ahamd Abu Daud).
Oleh karenanya tidak sedikit para Salafus Salihin menolak jabatan yang diberikan sekiranya ia merasa khawatir tidak mampu melaksnakan tugasnya dengan baik. Bila tidak berhati-hati seorang pemimpin akan memikul banyak dosa. Setiap orang yang ia zalimi akan memikulkan dosa kepadnya.
Pemimpin dalam level apapun akan dimintai pertanggung jawabanya di hadapan Allah atas semua perbuatannya, disamping semua apa yang terjadi pada rakyat yang ia pipmpin. Baik buruk prilaku dan keadaan rakyat tergantung pemimpinnya. Namun walaupun demikian, kita selaku rakyat tidak bisa merasa tenang. Karena sesungguhnya kita selaku rakyat juga akan diminta pertanggung jawaban ketika memilih seorang pemimpin. Maka celakalah kita yang memilih pemimpin tidak berdasarkan kriteria pemipin ideal yang telah ditentukan oleh agama serta tidak memiliki kapabilitas serta aksepbilitas sehingga kelak pemimpin itu akan membawa rakyatnya ke jurang kedurhakaan atau bahkan kekafiran, akhirnya rakyat juga terbebani dan bertanggung jawab akan dosanya.

ISLAM DAN TERORISME

Kamis, 15 Oktober 2009
(Yahya Muhaimin)

Sudah menjadi rahasia umum kiranya jika saat memperbincangkan aksi terorisme yang mengguncang Indonesia maka yang menjadi sorotan publik ialah Islam yang notabene dikambing hitamkan sebagai agama yang keras. Padahal dalam kasus atau hal seperti ini kita tidak pantas dan tidak layak untuk menjelekkan agama manapun. Karena pada dasarnya semua agama itu tergantung kepada orang yang menjalankannya.
Memang kita sering sekali salah dalam menilai. Kita lebih sering memandang suatu hala dari kejelekannya saja walau pun hanya setitik. Kita tidak pernah memandang suatu hal dari sudut kebaikannya, akibatnya setiap hal yang dipandang selalu dianggap jelek. Dalam konteks ini maka Islamlah yang menjadi objek penilaian. Banyak orang yang hanya memantau islam keras dengan hanya memngamati aksi terorisme yangt tidak dipungkiri pelakunya adalah umat Islam. Tapi tidakkah kita sepatutnya juga memantau bagaimana berjuta-juta umat Islam juga mengutuk aksi terorisme.
Islam adalah agama yang cinta damai, Allah sangat memmbenci segala bentuk kekerasan. Bahkan Dia mengutus Nabi kemuka bumi ini adalah untuk menyampaikan risalah perdamaian ( lihat QS al-Anbiya: 107). Banyak sekali ayat Al Qur’an yang menyinggung soal ini, walaupun dalam bentuk kupasan yang berbeda. Karena itu sangatlah salah kalau muncul penilaian bahwa islam adalah agama yang meyerukan permusuhan dan pertikaian.
Dalam surat al Anfal ayat 61 tertulis ” Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah”. Dari ayat tersebut jelas sekali islam adalah agama yang cinta damai dan tidak senag terhadap kekerasan.
Kemudiana bagaimana dengan banyak dalil Al Qur’an yang memerintahkan Jihad melawan musuh Allah? Apakah dalil-dalil tersebut salah ? kalau benar berarti benar kalau agama islam mengajarkan kekerasan?. Berbicara tentang jihad maka tidak otomatis berkait dengan kekerasan. Jihad yang dimakasud bukan hanya dengan berperang, banyak cara lain yang juga dapat disebut jihad. Jihad tidak hanya diartikan sebagai berperang untuk menegakkan agam Islam ataupun melindungi umat islam, melainkan juga memerangi hawa nafsu, mendermakan harta untuk kebaikan islam dan umatnya, serta memberantas yang bathil dan menegakkan yang hak. Untuk di Indonesia, jihad dengan berperang, membunuh, teror atau apapun namanya tidaklah pantas dan tidak dibenarkan. Indonesia saat ini bukanlah negara yang amburadul akibat peperangan melainkan negara yang amburadul akibat kemiskinan, kebodohan dan lain sebagianya. Jadi bukan tempatnya jika terorisme di Indonesia menjadi aplikasi dari nilai-nilai jihad tersebut.
Banyak cara buat kita umat Islam yang mempunyai keinginan besar buat berjihad, tidak harus membuat bom, tidak harus bunuh diri, tidak juga harus siap untuk dihukum mati. Caranya ? buat pelajar maka apar berjihad dengan belajar yang tekun, buat pedagang dapat berdagang dengan jujur, buat pengannnguran dapat berjihad dengan mencari rezeki yang halal, dan itu semua adalah jihad yang pantas dan dibenarkan untuk dilakukan di Indonesia. (Penulis adlaah siswa MAS Darul ulum Kuala Dua).

Syukur

Kamis, 08 Oktober 2009

Oleh : Yahya Muhaimin

Syukur adalah bentuk terima kasih kita atas segala pemberian yang telah kita nikmati. Dalam bersyukur, seorang hamba harus memahami nikmat yang ia syukuri. Tanpa memahaminya kita tidak akan bisa bersyukur dengan tulus dan ikhlas. Dan untuk memahami, amat terkait dengan kadar keimanan yang masing- masing kita miliki.
Dikisahkan pada suatu hari, seorang alim kedatangan seorang fakir yang mengeluhkan kefakirannya. Orang alim itupun bertanya : “Senangkah anda andaikata anda buta tetapi di beri uang satu juta?”. Orang msikin itu menjawab: “Tidak”. Si Alim bertanya lagi : “Senangkah anda diberi uang satu juta, sedangkan anda bisu?”. Dia menjawab : “Tentu tidak”. “Senangkah anda jika anda diberi uang satu juta, tapi kaki anda dipotong”. “Tidak juga” Jawab Si fakir lagi. “Kemudian senangkah hati anda jika anda diberi uang satu juta sedangkan anda menjadi gila” Tanya Si Alim untuk kesekian kali. “Tentu saja tidak tuan” . Untuk kelima kalinya si Alim kembali mengajukan sebuah pertanyaan : “Senangkah anda jika anda diberi uang satu juta, sedangkan anda diberi penyakit yang tidak kunjung sembuh,” Sekali lagi Si Fakir menjawab : “Tentu tidak tuan”. Orang Alim itu melanjutkan: “ Oleh karena itu tidakkah anda malu mengadukan kefakiran anda, sedangkan anda memiliki harta lebih dari lima juta?”.
Mensyukuri nikmat Allah memang bukan perkara yang mudah. Nyatanya, manusia hanya dapat meleburkan diri dalam hakikat syukur hanya beberapa saat setelah menrima nikmat yang di anugerahkan-Nya. Ketika misalnya, seseorang menerima gaji bulanan, maka ucapan syukur hanya dapat memenuhi saat uang tersebut masih berada dalam jumlah banyak. Tapi saat uang gajinya sudah berangsur habis digunakan untuk beraham kebutuhan, tidak hanya syukur yang hilang melainkan muncullah rasa kegundahan hati atau malah ketidak puasan terhadap rezeki yang telah dianugerahkan Allah.
Maka inilah yang sering tidak disadari oleh masnusia. Betapa berlimpahnya rezeki yang telah diberikan Allah, tapi betapa sedikit ungkapan syukur yang di anugerahkan kepada-Nya. Dilain sisi, manusia banyak yang hanya mensyukuri nikmat yang berupa harta benda saja, sedang nimat-nikmat lainnya mereka lupakan.
Sebenarnya, melatih diri agar membiasakan menerima segala sesuatu yang diberikan kepada kita (Qana’ah) adalah salah satu cara efektif untuk terus memacu tingkat rasa syukur kita.Allah telah telah memberikan sarana pelatihan bagi kita untuk melatih rasa syukur ini. Lihatlah bentuk kehidupan. Semuanya berpasangan. Semuanya memberi nilai manfaat bagi kehidupan makhluk-Nya. Inilah karunia Allah yang harus kita lihat secara benar dan terbuka, dengan mengikuti tuntunan yang ada dalam Al Qur’an dan Sunnah. Jangan terjebak dalam salah paham mengenai nikmat ini.
Dalam Al Qur’an, terdapat satu ayat yang berisi permohonan agar manusia diberikan kemudahan bersyukur kepada Allah SWT. Do’a yang dimaksud adalah do’a yang diuacpkan Nabi Sulaiman AS saat ia dan balatentaranya melewati kawanan semut yang takut terinjak oleh tentara Nabi Sulaiman.
Lihatlah bagaimana seorang Nabi Sulaiman, yang mempunyai tingkat keimanan di atas rata-rata manusia ternyata masih merasa kesulitan dalam mensyukuri nikmat Allah SWT sehingga ia memohon pertolongan Allah untuk selalu bersyukur kepadanya lewat do’a yang berbunyi: “ Wahai tuhank bagaimana aku mensyukuri-Mu, padahal kesyukuran adalah Nimatmu yang juga mebutuhkan syukur dariku”
Menurut Al-Bqa’i, sebagaimana dikutip Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah. Kata Anugerahilah merupakan sebuah do’a yang berarti dorongan untuk bersyukur sekaligus mencegah dari segala yang bertentangan dengan kesyukuran tersebut., yang mengikat hingga tidak terlepas atau luput dari diri beliau sesaatpun. Kata tersebut juaga dapat diartikan “Membutuhkan, senang, serta tetarik” sehingga pengalan ayat tersebut dapat ditafsirkan “Jadikanlah aku mebutuhkan rasa Syukur, serta tertarik melakukannya”
Secara harfiyah syukur diartikan sebagai sebuah pujian atas kebaikan dan terpenuhinya sesuatu. Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menerangkan bahwa kalimat “Alhamdulillah” menempati tingkatan tertinggi bila dibandingkan dengan kalimat tahlil yaitu “Laa Ilaaha Illallah” dan tasbih “Subhanallah”. Keutamaan kalimat tahmid ini karena kalimat ini tidak hanya makna pengkudusan terhadap Allah SWT tetapi juga memeliki makna pentauhidan dan di dalamnya berkumpul kemampuan bekerja yang sempurna.
Syukur yang kita kembangkan dalam diri kita akan memberi pemahaman pada kita bahwa tak ada sesuatu yang abadi. Semua bergantung pada kehendak allah SWT. Apapun yang Dia kehendaki, tak ada satupun yang kuasa tuk menghalanginya. Segala kesulitan yang sekarang menimpa diri kita, Insya Allah dengan keimanan serta kesabaran akan berganti menjadi nikmat. Rasa syukur inilah yang menjadikan kita tidak perlu merasa khawatir dengan apa yang menimpa diri kita. Sebab, pad ahakikatnya semua itu hanya pemberian Allah yang dapat dicabut atau ditambah sesuai kehendak-Nya.
Janji Allah benar adanya dan karunianya telah terbukti. Kalau manusia masih saja tidak mau bersyukur dengan apa yang telah ia terima, oantaslah ia dianggap sebagai orang sesat dan tertutup pintu hatinya. Mereka tidak akan pernah bisa memanfaatkan karunia yang telah diberikan untuk memajukan diri. Bagi mereka yang selalu tampak hanyalah kekurangan, ketidak puasan atau bahkan hujatan.
Dalam kenyataan, seringkali syukur lebih mudah dinyatakan namun sulit dibuktikan. Tak ada salahnya, terus mencoba. (Penulis Adalah Siswa MAS. Darul Ulum Sungai Raya)

TUHAN TELAH MENUNJUKKAN JALAN



(Oleh : Yahya Muhaimin)

Pagi itu, aku menjelma serupa bebatuan. Kaku, tiada niat rasanya hendak beranjak meninggalkan kamar. Kalau bukan karena harus shalat shubuh, mungkin aku akan lebih betah berlama-lama meneggelamkan diri dalam mimpi yang masih indah. Hangat udara pagi dan cicit burung di pepohonan tidak kutemui pagi ini. Hanya hujan gerimis yang betah menetes di depan kamar. Beginilah pagi-pagi sepanjang bulan ini. Tak ada yang istimewa, selain sejuk udara sejuk yang berhembus menembus bilik kamar.

Sebuah kamar dengan ukuran empat kali empat meter adalah tempat aku berdiri pagi ini. Tidak terasa tiga tahun sudah aku menjadi bagian dari penghuni kamar ini, menjadi bagian dari sebuah ekosistem kehidupan pesantren. Sebentar lagi mungkin kalau tuhan mengizinkan kaki ini akan kulangkahkan jauh untuk kembali ke sebuah kampung yang terletak di hulu sungai kapuas. Sebuah kampung dengan budaya serta adat istiadat yang masih begitu kental. Disanalah aku terlahir, serta disana pulalah kuhabiskan masa kecilku bersama ayah, ibu, serta teman teman kecilku di rumah betang.

”Din...din.....!kamu tu masih betah aja berdiri di depan jendela. Udaranya kan dingin banget !” Suara pemuda flamboyan itu membuyarkan semua lamunanku. Irul, sahabat karibku ternyata telah berdiri dibelakangku. Tanpa aku sadari ternyata ia memperhatikan gerak gerikku.

“Emang sih lumayan dingin, tapi asik juga lo bisa nikmatin suasana kayak gini,” Sedikit argumen yang kurang jelas kulontarkan.

“Asik dari hongkong, bukannya lebih asik kalo tiduran aja,”

“Itu sih kamu, kerjaannya tidur doank. Bentar lagi kita kan harus mandi, entar kesiangan lo!,”

”Oh...Iya...ya!,” Irul menirukan gaya salah satu pemain sinetron yang sering ditontonnya di kantin sekolah. Memang selama tiga tahun ini ialah teman yang paling dekat denganku. Kalau ditimbang-timbang hubungan kami tidak kurang seperti kakak dan adik. Walaupun usia kami relatif sama, tapi sikap kekanak-kanakan masih sering kutemukan padanya. Namun satu yang kumiliki dan selalu ada padanya, sifat yang humoris adalah kelebihannya.

Seperti yang kukatakan sebelumnya, jika tuhan mengizinkan aku akan segera meninggalkan tempat ini. Bukan karena aku malas untuk bergelut dengan suasana religi di pondok pesantren ini , lelah dengan berbagai kegiatan yang sepertinya itu itu saja atapun tak berniat untuk menjadi seorang ustadz ataupun kiayi. Melainkan Ujian Nasional yang telah begitu dekat adalah akhir dari kisah perjalanan kami. Jika Tuhan meluluskan kami, secara otomatis masjid, kamar, sekolah, teman-teman, guru-guru serta nasi bakwan ala kantin sekolah adalah yang akan kurindukan. Walau berat aku harus menyelesaikan sekolahku tahun ini, aku harus kembali. Karena nun jauh disana, kampung halamanku adalah yang paling mebutuhkanku. Disanalah aku harus mengabdi, seperti pesan almarhum ayahku.

Hari ini, seorang anak lelaki tertua telah dari keluarga miskin harus kehilangan ayahnya, sejak hari ini juga ia harus mulai menanggung nafkah ibu, dua adik, serta kakek-neneknya yang telah begitu renta. Anak itu adalah aku, SafarUdin Rahmat. Seorang anak desa yang dengan usaha serta kerja keras ayahnya walaupun dengan nilai pas-pasan ala anak desa telah berhasil menyelesaikan pendidikan ditingkat kedua, SMP.

”Din, kamu harus sekolah. Masa depan kamu masih panjang, kamu mau kayak bapak? Cuma bisa jadi petani. Kerja panas-panasan di ladang, itupun hanya untuk sesuap nasi. Ayah mau setelah Udin tamat SMP nanti, Uding melanjutkan sekolah di Pondok Pesantren. Agar nanti dirumah betang ini ada seorang pemimpin agama.,” begitulah pesan ayah yang selalu kukenang. Tapi apa daya, mungkin mimpi akan hanya tetap menjadi mimpi. Sekarang aku bukan Udin yang dulu. Aku adalah kepala keluarga bagi seluruh anggota keluarga ini. Walaupun aku tinggal di rumah betang, sebuah rumah yang berpenghuni lebih dari enam puluh keluarga serta terkenal dengan kebersamaannya, aku tidak boleh hanya menggantungkan diri kepada belas kasih para tetangga.

Mungkin adalah sebuah keanehan jika muslim seperti aku adalah penghuni rumah betang. Memang pada awalnya nenek moyang penghuni rumah ini adalah suku-suku dayak yang berkepercayaan primitif. Tapi sejak kedatangan Pak Amir, seorang ustadz yang katanya adalah alumni sebuah Pondok Pesantren di Pulau Jawa, penghuni rumah betang ini menjelmakan dirinya menjadi sebuah komunitas islam. Tiga tahun lalu, pak Amir meninggal. Sejak saat itulah rumah betang ini seakan telah kehilangan salah satu tiang utamanya. Radank atau serambi memanjang dihadapan bilik-bilik yang setiap waktu subuh atau waktu shalat lainnya menjelma menjadi semacam mushalla kini hanya menjadi tempat pemuda serta pemudi mendendangkan lagu-lagu serta bercakap-cakap tentang pekerjaan yang melelahkan seharian. Merasakan degradasi nilai-nilai keberislaman inilah yang melatar belakangi mimpi besar ayah untuk menyekolahkanku ke Pesantren.

Empat jam sudah lengan ini mengayunkan parang, melibas deretan ilalang yang luas membentang. Beginilah kegiatanku setiap hari, setelah putus sekolah aku harus berkerja sebagaimana yang ayahku harus kerjakan semasa hidupnya. Membuka lahan baru untuk berladang dan bercocok tanam. Tidak seperti warga lainnya, aku lebih senang menebas ilalang ini dari pada meracun dan kemudian membakarnya. Selain karena keluarga kami memang tak mampu mebeli racun rumput yang mahal harganya, aku juga tak ingin menambah kabut asap yang setiap pagi menyerang kampungku dan tidak kalah dengan polusi asap kanlpot kendaraan di kota.

”Tolong,......too...long!,” suara kecil itu mengisi indera pendengaranku.

”Tolong....!,” suara itu terdengar menderita.

”Umak ada ninga urang mintak tulong ndak?,” Tanyaku pada ibu dengan bahasa lokal yang selalu kami pakai.”Apakah ibu dengar suara orang minta tolong?” begitulah mungkin kata-kata itu jika diterjemahkan.

”Nesek, mabak kula’ salah ninga,” Jangan-jangan kamu salah dengar, begitulah maksudnya.

Aku tak yakin jika pendengaranku salah, akalku seakan tak menerima. Hatiku bimbang, rasanya ingin aku segera berlari dan mencari asal suara yang kudengar tadi. Tapi itu tak mungkin, pekerjaanku belum selesai, selain itu ini belum waktunya pulang. Jika aku paksakan aku khawatir jika ibu akan menganggap aku hanya mencari alasan untuk meninggalkan pekerjaan dan lebih memilih bermain. Akhirnya kupendam jauh perasaan itu. Kembali seluruh jiwa serta raga ini kucurahkan untuk melibas habis rerumputan yang masih tersisa.

Matahari telah bertahta jauh di ufuk barat. Kilau keemasan yang mebias menjadi cahaya penunjuk jalan di keremangan jalan yang kulalui. Parang, cangkul serta berbagai asesoris tani lainnya masih bertengger di pundakku. Tiba-tiba tampak olehku sesosok tubuh yang dipenuhi lumpur serta kotoran manusia. Malang sekali nasibnya, mungkin pria inilah yang berteriak memohon pertolongan. Badannya yang tua sepertinya membuatnya tak mampu keluar dari lubang tempat penduduk kampung ini menunaikan kodratnya sebagai manusia. Pikiranku kacau, bingung tak tahu apa yang harus kulakukan. Mondar-mandir tubuh ini ditepian lobang itu. Saraf-saraf otak berkerja begitu keras. Tiba-tiba “Bukk” badanku terjerembab tersandung sebuah benda yang melintang dianatara semak-semak. Sebuah rotan, ternyata pada posisi inilah tuhan menjadi satu-satunya penolong. Kurangkai rotan itu menyerupai sebuah jerat, kuturunkan perlahan dan kusangkutkan diantara kedua ketiaknya. Susah payah kutarik tubuh itu keatas. Dari beratnya aku memperkirakan beratnya sekitar enam puluh kiloan. Akhirnya, setelah keringat bercucuran tubuh tersebut berhasil kuraih. Bau kotoran manusia yang mengotori baju seragamnya begitu menusuk hidung. Jika bukan karena sila kedua pancasila, yaitu kemanusiaan mungkin aku akan lebih senang meninggalkannya ditengah kegelapan seperti ini. Samar-samar aku dapat membaca nama dibaju dinasnya. ”Kurniawan Agung Fadlillah, S.I.P” begitulah kira-kira tulisannya.

Berat rasanya kaki ini hendak melangkah. Namun bagiku sebuah pekerjaan tidak boleh setengah-setengah. Akhirnya,dengan susah payah aku berhasil memopong bapak itu.

”O...din! sopa yang kulak baek?,” Ai Tangkong menayakan siapa orang yang ku bawa., salah seorang tetanggaku yang usianya telah berkepala tujuh. Walaupun demikian, kekuatannya otot-otot rentanya masih lebih kuat dari pada anak muda di kampungku yang menghabiskan malamnya dengan bergadang di Radank.

”Entah meh, aku pun ndak kenal,” aku juga tak kenal, begitulah maksudku.

”Kituk meh, Ai tulong,” Ai Tangkong meraih tubuh kotor itu dari pundakku. Dengan tangan perkasanya ia memanggul tubuh tersebut melangkah menaiki anak tangga yang terbuat dari sebatang kayu bulat yang dilengkapi anak tanngga, satu-satunyta akses masuk ke dalam rumah betang setinggi enam meter itu.

Akhirnya perjuanganku selesai sudah. Setelah dibersihkan, tubuh yang telah menyerupai mayat itu kami baringkan di tepian radank. Ibu segera memanggil dukun kampung yang kebetulan adalah salah seorang penghuni lawang atau bilik di rumah ini. dengan cekatan dukun tersebut membersihkan luka senjata tajam yang ternyata menggores di hampir sebagian tubuhnya dengan sejenis tumbuh-tumbuhan yang entah aku sendiri tak tahu namanya.

Tiga hari lamanya, tubuh itu hanya tergeletak di radank. Setiap pagi dan sore sang dukun selalu datang untuk memeriksa keadaan pasiennya. Untuk urusan menjaga, adik-adikku bisa diandalkan. Secara bergilir tiga adikku menjaga lelaki itu siang dan malam. Walau tiada mempunyai hubungan keluarga, kepudulian kami menjadi motivasi kami untuk tetap menjaganya. Selain itu, kami juga yakin bahwa Allah akan senang dengan apa yang sedang kami lakukan.

”Bang, bapak itu sudah bangun,” pekik adikku yang paling bungsu. Kebetulan pagi itu ialah yang bertugas menjaga tubuh kaku itu. Aku segera berlari, menjejaki anak-anak tangga yang lapuk karena begitu tua. Perlahan kudekati adik-adikku yang telah berkumpul berkeliling disekitar tikar tempat tubuh bapak itu kami baringkan.

”Siapa kalian ?,”itulah kata-kata yang pertama kali terlontar dari mulut pria separuh baya itu. Suaranya masih serak, tapi aura kebijaksannannya sudah dapat kurasakan.

”Dimana aku sekarang?,” mulut itu kembali melontarkan sebuah pertanyaan.

”Tenang saja pak! Kami orang baik, kamilah yang menyelamatkan bapak. Sudah tiga hari bapak pingsan.,”

”Kalau begitu, saya sangat berterima kasih dengan bantuan yang telah kalian berikan,” Pria tua itu susah payah berusaha untuk bangkit. Tampaknya tubuh itu masih begitu lemah.

”Bapak istirahat dulu, bapak kan belum sehat,”

”Iya ni, bapak jangan banyak berrgerak dulu,” Adik bungsuku menimpali, gayanga seperti dokter spesialis yang sedang memberi saran pada pasiennya.

Empat hari telah berlalu sejak pria itu sadar dari pingsannya, tahapan demi tahapan penyembuhan dilalui oleh pria yang kami kenal sebagai pak Agung. Ternyata ia adalah camat kami. Disinilah tanda-tanada bahwa kami sungguh terisolir. Bahkan camat kami sendiri kami tidak mengenalnya.

Menurut cerita beliau, peristiwa yang ia alami seminggu lalu adalah akibat dari keputusannya melarang utusan perusahaan kayu dari ibukota yang meminta izin melakukan penebangan hutan di daerahnya, termasuk kampungku. Pihak yang merasa di rugikan sempat hendak menyuapnya dengan sekoper uang yang katanya bernilai satu miliyar rupiah. Namun, beliau yang ternyata alumni sebuah pesantren di ibu kota provinsi kami lebih memilih untuk tidak menjadi oang munafik yakni dengan mempertahankan keputusannya. Ternyata tanpa ia ketahui, panas hati telah membara di dada para utusan yang katanya adalah lulusan terbaik Universitas-universitas besar di pulau jawa. Dalam perjalan pulang, ditengah kegelapan malam Pak Agung disergap oleh eberapa pemuda yang tidak dikenalnya. Tubuh tua Pak Agung tak kuasa melawan. Beberapa goresan senjata tajan mendarat disekujur tubuhnya. Ia yang telah jatuh pingsan dibuang jauh di tengah hutan. Disekitar kampung yang penghuninya adalah kami. Tepatnya disebuah lobang pembuangan akhirsegala jenis makan yang kami konsumsi sehari-hari.

Malam itu, angin bertiup begitu kencang. Hujan deras mengguyur perkampungan terpencil ini. Lampu minyak yang kami gunakan sebagai alat penerangan tidak satupun yang masih memancarkan cahaya, angin yang menyusup diantara celah-celah bilik papanlah yang telah memadamkannya.

Tiba- tiba sebuah hentakan membuat rumah serasa dihantam gempa. Bunyi-bunyi aneh menggema sepanjang radank. Suara rintihan mejadikan malam itu serasa begitu mencekam. ”Pak Agung!,” aku teringat pak Agung yang tidur sendiri di Radank. aku berlari, membuka pintu dan segera mengarahkan mata ke tempat Pak Agung tidur. Menyadari Pak Agung tidak ada di tempatnya segera aku langkahkan kakiku ke pojok radank. tempat sebuah gong pertanda ada bahaya diletakkan. Kupukul gong itu sekeras-kerasnya membangunkan seisi rumah btenag. Tanpa aba-aba, semua penghuni mengikuti langkahku. Menuruni anak tangga yang begitu licin terkena basah dari tetesan air hujan. Ai Tangkong dengan tuuh rentanay lebih memilih melomcat dari atas rumah daripada berebutan menuruni tangga. Dari jauh aku melihat sekelompok bayangan berlarian diantara rerimbunan pepohonan. Segera kami mengejar gerombolan itu. Tanmpak oleh kami mereka melempar sebuah karung besar yang entah apa isinya. Sampai di tempat karung itu dibuang kami berhenti. Ai Tangkong memberanikan diri membuka ikatan karung tersebut.

”Astagfirullah, Pak Agung! Apa yang terjadi,” aku memekik. Ternyata pak Agunglah yang dari tadi menggeliat didalam karung tersebut. Mungkin orang yang berusaha menculik Pak Agung lebih memilih meninggalkan Pak Bagung dari pada harus melarikan diri dengan membawa beban seberat Pak Agung. Tentu ia takut harus meregang nyawa ditangan para petani desa seperti kami.

”Din, tolong antarkan bapak ke Kantor Polisi,”

”Tapi pak, apakah tidak bisa besok saja,”

”Tidak bisa, istri dan anak bapak dalam bahaya, jika bapak tidak segera bertindak maka anak dan istri bapak akan mengalami hal yang sama dengan bapak,”. Tampaknya preman kampung bayaran para utusan perusahaan kayu tersebut mengambil cara lain yang lebih mudah. Menyerang Pak Agung dari titik kelemahannya, mereka tahu seorang yang pengasih seperti pak Agung tidak akan membiarkan keluarganya menderita. Tentu Pak Agung nantinya akan mengabulkan permohonan mereka. Dan yang tentu terjadi, komisi dari bos-bosanya di Jakarta akan mengalir ke dalam kantong dan ATM mereka.

Malam itu juga aku, Pak Agung, serta Ai Tangkong berangkat ke ibukota kecamatan. Melewati jalan pintas dibelakang kampung. Mengayuh perahu menuju hilir Sungai Boyan, sebuah cabang dari sungai Kapuas. Aku bertugas mengayuh, sedangkan Ai Tangkong telah siap dengan mandaunya memasang kuda-kuda kalau ada sesuatu yang tiba-tiba menjadi pengahalang perjalanan kami.

Kira-kira pukul tiga pagi kami merapat di Ibukota kecamatan. Beruntung Kantor Polisi berada disekitar tempat kami merapat sehingga kami tidak perlu bersusah payah berjalan kaki untuk segera memberi laporan serta meminta pertolongan.

Pagi itu, matahari bersinar begitu cerah. Sisa hujan tadi malam masih menyisakan becek di jalan kampung yang kami lalui. Letih mengayiuh tadi malam mebuat aku lebih memutuskan untuk berlibur dari bertani.

“Udin...Udin,” Ai Tangkong memanggilku dari kolong rumah. Dengan malas aku beranjak, menuruni anak tangga untuk yang beribu-ribu kalinya. Kulihat sebuah jeep berplat merah terparkir didepan rumah betang kami. Seorang bapak dengan seragam dinasnya menulurkan kepalanya sambil melambaikan tangan dari jendela mobil tersebut. Pak Agung, camat kami yang kami hantarkan ke kantor polisi tadi malam. Tampak ia beserta istrinya keluar melangkah menuju kearahku.

”Terima kasih nak, berkat bantuan nak Udin bapak tidak terlambat melapor. Usaha penculikan istri dan anak bapak berhasil digagalkan,” senyum mekar dibibir Pak Agung.

”Alhamdulillah ! saya juga ikut senang pak, semoga kejadian seperti ini tidak terulang lagi,”. Tiba-tiba pandanganku dialihkan oleh sesosok manusia indah dengan senyum yang merekah dibibrnya, melangkah keluar dari dalam mobil yang sama. Ia adalah seorang wanita dengan struktur wajah lonjong dan air muka yang sangat menawan. Hidungnya kecil dan bangir, garis wajahnya tirus dengan tatapan mata kharismatik menyejukkan sekaligus menguatkan hati. Bahkan pada detik itu pula hati ini telah terpaut pada nya.

”Siapa itu?,” tanyaku singkat.

”Ia Mala! Nirmala Asiyah, anakku!, kenapa? Kamu suka ya,”. Aku tersipu.

”Nanti kalau sudah besar, ia boleh jadi istrimu,”. Entah hanya bercanada ataupun serius, yang pasti saat itu hatiku berdesir. Begitu cepatkah tuhan mengirim jodoh padaku.

”Tapi ada satu syarat...,” pak agung tak melanjutkan kata-katanya.

”Syarat apa,” itulah kata yang kusembunyikan di bilik hatiku.

”Kamu harus Nyantri terlebih dahulu di Pondok Pesantren tempat bapak pernah nyantri dahulu. Kamu mau kan?,”

”Maksud bapak..?,” aku seakan tidak percaya. Syarat itu adalah mimpiku selama ini.

”Bapak tahu kamu sangan ingin menimba ilmu di Pesantern. Adik bungsumu sering bercerita kepada bapak tentang kamu. Jadi, sebagai ungkapan terima kasih bapak, bapak akan membiayai kebutuhanmu disana,”. Bibirku kelu, tak mampu berucap sepatah kata. Akhirnya mimpiku dan alamrhum ayah terkabul. Air mataku meleleh di pipi. Kupeluk tubuh tua itu, berkali-kali ku cium tangannya sebagai ungkapan bahagia tiada kira.

”Tapi pak..,” tiab-tiba adar rasa yang serasa menjanggal di hatiku.

”Apa lagi?, kamu sudah tak berniat lagi untuk nyantri?,”

”Bukan, tapi bagaimana dengan keluarga ini. Mereka akan makan apa?. Adik-adikku masih begitu kecil untuk berkerja,”

”Kalau masalah itu kamu tenang saja, Bapak sudah memutuskan memberikan seperlima dari gaji bapak setiap bulannya untuk keluarga Udin,”. Tangisku semakin deras. Tak sanggup aku menggambarkan perasaanku saat ini. Ternyata Tuhan begitu pemurah. Tanpa aku sadari ia telah mengirim malaikatnya kepadaku lewat bau yang menusuk hidung saat aku menemukan Pak Agung tempo lalu.

Hari ini adalah hari pengumuman kelulusan. Hujan diluar masih deres menetes membasahi rerumputan. Aku, irul serta teman-teman yang lain saat ini dalam kebisuan. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi dengan kami hari ini. Hasil dari waktu tiga tahun yang kami habiskan akan ditentukan hari ini. Jantung berdetak kencang sekaan berkejaran dengan irama tetesan hujan. Anganku kembali kesana, tempat ibu, adik, Pak Agung serta Mala tentunya yang kuyakin berharap cemas menantikanku pulang ke kampung halaman.

”SafarUdin Rahmat!,”. Sebuah panggilan terakhir, dan itu adalah namaku. Kakiku bergetar, bumi seakan berguncang begitu dasyat. Tanganku bergetar kala sebuah amplop kupegang erat ditanganku. Dengan langkah beratku aku beranjak kembali ke bangku tempat irul yang telah menantiku.

”Hari ini, setelah tiga tahun kalian berjuang nasib kalian akan ditentukan. Dan jikalau nanti ternyata harus ada di antara kalian yang tidak lulus, maka berbesar hatilah. Allah pasti punya rahasia dibalik itu semua. Setiap manusia punya jalan, hanya saja kita tak tahu ke arah mana tuhan akan menunjukkannya. Tugas kita hanya berusaha,” begitulah kalimat terakhir yang diucapkan Kepala sekolah kami sebelum kami membuka amplop yang telah kami terima.

”Sekarang silahkan buka!,” begitulah instruksi yang kami terima. Dipojok kelas nampak Arif, sang juara kelas telah tersenyum pertanda bahwa kelulusan telah digenggamnya. Jari jariku kembali bergeletar saat harus membuka amplop yang isinya adalah hasil usahaku tiga tahun ini. Hatku berdesir, tanpa aku sadari airmata telah mengalir di kedua pipiku. Sebuah tangis bahagia telah kutumpahkan. Berkat rahmat Allah hari ini aku telah menyelesaikan pendidikan tingkat ke tiga, Madrasah Aliyah. Di kertas yang kupegang, aku dapat melihat Ayah tersenyum bangga padaku.

”Kamu telah mengabulkan mimpi ayah nak, ayah bangga padaku,” kata itulah yang mungkin hendak diucapkan jikalau ayah masih ada.

Kupandangi sekitar, tampak irul berlari meninggalkan aku. Tangisnya bersimbah. Kubuka kembali amplopnya yang tergeletak disisiku. Aku kembali menangis, bukan tangis bahagia. Melainkan sebuah kesedihan yang amat sangat. Tuhan punya jalan lain untuk Irul, itulah yang kubaca dari kertas tersebut. Ia dinyatakan tidak lulus di Ujian Nasional tahun ini.

Sebuah Bus melaju melintas rimbun pepohonan pinggiran jalan. Meninggalkan aku di depan sebuah rumah yang termegah di Kecamatan tempat aku menginjakkan kaki hari ini. Rumah Pak Agung, seorang camat yang masih betah mengabdi di daerah terpencil seperti ini. Seorang juru penyelemat yang dikirim tuhan untukku tiga tahun lalu.

”Assalamu’alaikum,”

”Wa’alaikum salam,” seorang wanita dengan senyum yang sama dengan tiga tahun lalu mebukakan pintu untukku. Kalau bukan larangan agama, mungkin telah kubenamkan tubuh ini dalam pelukannya. Betapa aku rindu padanya. Percaya atau tidak, ini adalah kali kedua aku melihat wajahnya. Betapa ajaib tenaga cinta pertama. Senyumnya masih semerbak di relung-relung dadaku seperti pertama kali tuhan mempertemukan aku dengannya.

“Eh nak Udin, sudah lama?,” sapa Pak Agung yang sengaja pulang awal karena tahu kedatanganku.

“Belum, baru saja,” jawabku singkat. Aku teringat sesuatu yang masih sangat berharga untukku. Ibu, adik serta kakek nenek yang ada dirumah betang. Disebuah kampung pinggiran kecamatan.

“Kenapa? ada yang dipikirkan?,”

“Aku harus segera pulang, aku telah begitu rindu pada ibu,”

”Din ! Bapak ingin mengucapkan maaf sebelumnya. Bukannya bapak tidak ingin mengabari Udin, hanya saja bapak tidak ingin menggangu belajar Udin menjelang Ujian. Sekarang ibu kamu sudah tidak ada dirumah itu,”. Air muka Pak Agung tiba-tiba berubah.

”Memangnya kenapa? Ibu kemana?,” pertanya itulah yang serta merta mengalir dari lisanku.

”Dua bulan yang lalu seluruh anggota keluargamu telah meninggalkan dunia fana. Karena derasnya arus sungai, perahu yang mereka naiki tenggelam. Setelah tiga hari, barulah jasad merek ditemukan,”. Aku menangis, tak tahu lagi kemana lagi derita ini akan kubagi. Begitu berat ujian tuhan. Setelah memanggil ayah ternyata tuhan belum puas menyiksaku. Sekarang aku sebatang kara. Tak tahu lagi entah kemana.

”Din, kamu jangan menangis. Kasihan mereka, sekarang ini yang mereka butuhkan bukan air mata. Kirimi mereka do’a. Kamukan sudah nyantri, kabulkan segala mimpi mereka. Lagipula, tangsi bukan penyelesaian masalah,”

”Bang, kuatkan hati abang. Mala tahu berapa menderitanya abang. Tapi abang musti ingat, sekarang masih ada bapak, ibu, mala serta seluruh penghuni rumah betang tempat anag dilahirkan yang mebutuhkan dan menyayangi aabang. Hidup masih panjang. Yang perlu abang lakukan sekarang adalah kembali ke niat yang semula. Kembali ke rumah betang , jadilah pemimpin agama disana. Mala berjanji akan selalu bersama abang,”. Aku terdiam. Hanya isakanlah yang masih tersisa. Aku tak menyangka kata-kata itu akan keluar dari mulutnya. Mengalir begitu saja, bukan sebuah rekayasa yang telah disusun begitu saja. Aku tak menyangka, dibalik deriat ini tuhan kembali mengirimkan bidadarinya untukku. Aku sadar, ternyata aku tidak sendiri. Disini, didunia ini masih banyak orang yang membutuhkanku. Dan aku juga yakin bahwa disana, diakhirat sana ayah ibu, adik-adiku serta kakek dan nenek sedang tersenyum atas ketegaranku hari ini.

Setelah dera derita yang aku alami selama ini, akhirnya tuhan telah mengantarkanku ke penghujung jalan. Kini aku tidak sendiri. Disini, di rumah betang ini aku hiudp bahagia Bersama Mala dan kedua anakku Nabil Fanshurullah dan Nurlalila eka fathanah. Di sini pula aku menjadi pemimpin bagi enam enam puluh keluargha yang bermukim di tempat yang sama. Di kala tiba waktu shalat, maka radank adalah ruang yang disesaki berpuluh puluh jama’aha. Aku bahagia, akhirnya aku telah berhasil melaksanakan amanat ayah tercinta. Tidak lupa dalam setiap shalat aku kirimkan do’a untuknya. Aku mohon agar tuhan sudi kiranya meringankan bebannya diakhirat sana beserta seluruh keluarga yang aku cinta.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari aku menjadi tenaga honorer di kantor kecamatan. Berangkat setelah subuh dan pulang menjelang magharib, itulah gambaran aktivitasku saat ini. Baru baru ini aku juga mendengar kabar tentang irul. Ternyata setelah kegagalannya ia memutuskan menjadi pengusaha meubel. Dengan kerja kerasnya kini ia bahkan telah memiliki enam minimarket yang dikelola oleh istrinya. Disinilah aku belajar, bahwadi balik kesusahan pasti ada kebahagian. Siapa sangka, aku yang bersedih ditinggal ayah tercinta kini telah berhasil menjadi seorang ustadz yang menjadi cahaya bagi kampungnya. Dan juga irul, ternyata di air mata yang dulu ia teteskan tuhan telah mennyembunyikan rencana besar untuknya. Sekali lagi,, tuhan telah menunjukan jalan. J